Penulis dan Minoritas Kreatif

Dalam perjalanan menuju Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, akhir Mei lalu saya memperoleh pertanyaan mengejutkan: “Mas, workshop penulisan kita selama ini efektif atau tidak untuk melahirkan banyak penulis?”

“Tidak.”

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Pertanyaan itu dilontarkan Mas Hilmi Faiq, redaktur Harian Kompas, yang sejak awal telaten membersamai kelas-kelas penulisan yang dihelat jejaring duniasantri. Dan, saya memberikan jawaban yang tegas, “Tidak,” berdasarkan pengamatan terhadap workshop atau diklat-diklat penulisan yang dilaksanakan jejaring duniasantri di berbagai pesantren sejak 2019.

Faktanya memang demikian. Tiap kali diadakan workshop penulisan, dengan jumlah peserta antara 40-50 santri, belum tentu keluarannya ada yang menekuni dunia penulisan– boro-boro semua aktif menulis. Mungkin satu-dua orang ada yang mencoba menulis satu-dua kali, tapi setelahnya prei.

Lalu, dari mana datangnya para penulis di duniasantri.co yang begitu banyak? Ada, memang, beberapa yang merupakan produk dari workshop penulisan. Tapi, kebanyakan justru datang dari mereka yang memang memiliki passion kuat untuk menulis.

Berarti gagalkah workshop-workshop penulisan tersebut karena tak efektif menelurkan banyak penulis? Kalau ukurannya jumlah keluaran yang menjadi penulis, jawaban: sudah jelas gagal. Tapi kalau ukurannya gairah, dalam arti seberapa kuat menumbuhkan gairah (passion) kepenulisan, tak bisa dibilang gagal.

Workshop-workshop penulisan yang diadakan jejaring duniasantri, serta pengelolaan situs web duniasantri.co, diakui atau tidak, sedikit banyak semakin menggairahkan tradisi kepenulisan di kalangan santri. Hal tersebut terlihat dari semakin banyaknya santri dari berbagai daerah yang menjadi kontributor dan mengirimkan karya-karya tulisnya ke duniasantri.co.

Saat tulisan ini dibuat, Minggu, 6 Juli 2025, jumlah kontributor sebanyak 3.177, tulisan yang dikirim 8.164 naskah, dan yang dirilis sebanyak 4.334 tulisan.

Creative Minority

Pertanyaannya adalah, apakah ribuan santri yang menjadi kontributor/penulis tersebut nantinya akan benar-benar menekuni dunia kepenulisan dan menjadi sebenar-benar penulis?

Jika membaca kembali naskah pidato Mario Vargas Llosa saat menerima hadiah Nobel Sastra pada 2010 yang diberi judul Elogio de la Lectura y la Ficcion, terlalu berlebihan jika jawabannya: iya.

Memang, dalam pidato itu, sastrawan asal Peru tersebut berbicara dalam konteks penulis kreatif di bidang sastra atau fiksi. Tapi apa yang diungkapkannya rasanya juga berlaku untuk penulis secara umum, yang bisa dirujuk pada sebenar-benar penulis alias penulis sejati.

Menurutnya, selamanya penulis itu adalah pemberontak. Atau penggelisah dan pemrotes terhadap kemapanan. Para penulis, dan karya-karya mereka, selalu berangkat dari tidak memadainya hidup yang dibayangkan karena direnggut kemapanan (establishment). Mereka selalu mempersoalkan kemapanan. Akhirnya mereka memilih menulis sebagai cara hidup, dan kemudian hidup dalam ketakmapanan. Kredonya adalah: boleh mencari uang untuk hidup dan menulis, tapi tak boleh menulis untuk hidup dan uang.

Begitulah para penulis sejati yang digambarkan Mario Vargas Llosa. Dalam bahasa sastrawan Putu Wijaya, menulis itu dharma, laku pengabdian hidup.

Itulah kenapa, penulis selalu menjadi kelompok minoritas. Hanya sebagian kecil orang yang mampu bersetia dan bertahan sebagai penulis. Kalau tak percaya, cobalah periksa lingkungan di mana Anda, sebagai penulis, tinggal. Hampir bisa dipastikan yang menjadi penulis cuma Anda.

Hal tersebut bukan karena di situ Anda menjadi orang yang paling cerdas atau paling baik. Lebih didorong karena di situ Anda menjadi orang yang paling gelisah, yang paling rewel terhadap hal Ikhwal, yang paling getol mempersoalkan kemapanan, dan hal-hal serupa yang mendorong Anda untuk menulis. Dan jangan berharap ada tetangga yang akan meniru-niru menjadi penulis, seperti tetangga yang ikut-ikutan buka warung kelontong.

Di lingkungan pesantren pun demikian. Dari ribuan santri di satu pondok pesantren, jika ada, mungkin hanya segelintir yang tekun menulis. Karena apa? Karena passion. Karena panggilan. Panggilan yang datang dari apa yang digambarkan Mario Vargas Llosa tersebut.

Jadi, ketika jejaring duniasantri menginisiasi gerakan santri menulis, baik melalui workshop-workshop penulisan maupun situs web duniasantri.co, tak terlalu berharap akan datang berduyun-duyun santri menjadi penulis. Sebab, yang akan istikamah menjadi penulis tetap sekelompok kecil santri, kelompok minoritas, tapi terus kreatif dalam menulis. Mereka biasa disebut creative minority atau minoritas kreatif. Memang jumlahnya sedikit, tapi karya-karya tulis mereka akan dibaca banyak orang, gagasan-gagasan kreatif mereka akan “mengganggu” pikiran banyak orang. Yang minoritas akan mewarnai yang mayoritas.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan