Menurut banyak sumber dan beragam heruistik lain, Islam datang di Jawa melalui pedagang Arab, Gujarat, dan China. Tidak ada yang tahu pasti siapa yang membawa ajaran Islam ke Jawa. Sependek yang saya tahu, Islamisasi yang dilakukan oleh para Wali Sembilan, atau yang familiar kita sebut dengan Wali Songo dengan cara mengalkuturasikan budaya yang telah mendarah daging di masyarakat Jawa, seperti nyadran, grebek suro, tumpengan, dengan memasukkan nilai-nilai Islam di dalam budaya mereka itu.
Para wali mengimplementasikan ayat Allah yang berbunyi: ادع الى سبيل ربك بالحكمة وااموعظة الحسنة، وجادلهم بالتى هي احسن. Yang kira-kira artinya begini: Serulah (kepada manusia) ke jalan Tuhanmu (Allah Swt) dengan bijaksana dan tutur kata yang baik. (Jika suatu hal menuntut untuk ada perdebatan, maka) berdebatlah dengan cara yang baik pula.
Para wali tidak pernah mengenalkan masyarakat tentang Islam dengan cara kekerasan, tapi mengajak mereka dengan step by step, melalui proses, sedikit demi sedikit. Sebagai contoh, saya akan memaparkan cerita Kanjeng Sunan Kudus, Syekh Ja’far Shodiq: ketika datang saatnya hari raya Idul Adha, beliau mengganti hewan kurban —yang kebanyakan daerah menggunakan sapi— berupa kerbau, karena masyarakat Kudus sangat menghormati sapi.
Adanya kolam untuk mencuci kaki —di Jawa disebut dengan kolam canteng— karena banyak dari masyarakat Jawa yang jarang memakai sandal ketika akan memasuki masjid. Oleh sebab itu, Sunan Kudus menginisiasi pembuatan kolam sebelum masuk masjid, sebagai cara untuk mereka yang akan masuk masjid agar kakinya bersih. Itu salah satu contoh keteladanan para wali dalam menyampaikan ajaran Islam.
Sunan Kalijogo, Raden Sa’id, tak kalah menarik. Beliau menjadikan wayang sebagai ajang pertunjukan, yang tiketnya adalah membaca kalimosodo (kalimosodo adalah bentuk praktis lidah Jawa yang diambil dari lafaz kalimat syahadat). Sehingga, setiap orang yang akan menonton wayang, secara otomatis akan masuk Islam, meskipun mereka belum tahu esensi ajaran Islam.