“Pribumisasi Islam” merupakan salah satu gagasan dari Gus Dur yang paling orisinal. Gus Dur gencar mewacanakan gagasannya ini sejak era 1980-an. KH Abdurrahman Wahid mengusung gagasan “Pribunisasi Islam” dimaksudkan sebagai ikhtiar untuk mencari format baru dalam menafsirkan Islam yang sifatnya normatif-tekstual, menjadi praksis yang kontekstual.
Gambaran sederhana dari gagasan ini, bahwa Islam merupakan ajaran dari Tuhan yang bersiat normatif-doktrinal kemudian “dikawinkan” dengan kebudayaan yang dimiliki oleh manusia, tanpa mengurangi esensi dan eksistensi dari ajaran Islam itu sendiri.
Bagi Gus Dur, gagasan Pribumisasi Islam ini bukan untuk menjauhkan dari konfik yang timbul dari kekeuatan budaya setempat, akan tetapi justru untuk menyelamatkannya dari kesirnaan akibat munculnya Islam sebagai agama atau formalism agama. Maka, Pribumisasi Islam bukan untuk menghindari adanya polaritas antara agama dan kebudayaan, sebab menurut Gus Dur polaritas agama dan budaya tidak dapat dihindari dalam kehidupan manusia.
Menurut Imadadun Rahmat dalam bukunya yang berjudul Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca Realitas, “Islam Pribumi” tidak lain merupakan hasil dari “Pribumisasi Islam”. Pada konteks selanjutnya, Pribumisasi Islam perlu digerakkan untuk menjawab tantangan “Islam Otentik” dan “Politik Identitas Islam” yang mana keduanya ini hendak mengkampanyekan proyek Arabisasi. Di sini, “Islamisasi” berarti “Arabisasi”.
Bagi Gus Dur, adanya proyek Arabisasi semacam ini justru membuat budaya lokal tercerabut dari akarnya. Maka, Islam Pribumi bertujuan memberikan peluang untuk keanekaragaman tafsir dalam berbagai macam praktik kehidupan beragama di wilayah yang berbeda-beda, sehingga Islam tidak dianggap lagi sebagai agama tunggal, akan tetapi sebaliknya sebagai agama yang majemuk. Dengan demikian, maka Islam ala Timur Tengah atau Arabisme tidak lagi dipandang sebagai agama yang paling benar sendiri dan murni.
Ada beberapa karakter yang menjadi ciri dalam Pribumisasi Islam atau Islam Pribumi. Pertama, secara kontekstual Islam dapat dipahami sebagai ajaran yang tidak terikat oleh suatau masa tertentu, sehingga ajaran Islam akan mengalami perubahan dan perkembangan seiring dengan berjalannya waktu. Islam akan mampu merespons setiap perubahan zaman dan mampu berdialog dengan berbagai macam pluralitas, sehingga Islam nantinya benar-benar shalih li kulli zaman wa makan atau relevan dengan setiap perkembangan zaman.
Kedua, gagasan Pribumisasi Islam ini akan menumbuhkan rasa toleransi terhadap suatu perbedaan tafsiran dalam Islam. Mengingat Indonesia sebagai negara yang plural, maka juga akan menuntut kesederajatan antaragama-agama dengan berbagai macam konskuensinya. Adanya sikap toleransi antaragama inilah yang menjadikan Indonesia berdiri dan berdaulat.
Ketiga, menghargai adanya tradisi. Mengingat Indonesia sebagai negara yang majemuk dan memiliki beragam tradisi, maka kita harus melestarikan dan menjaga sebagai suatu warisan local wisdom. Perlu kita ingat bahwa agama Islam pada masa Rasulullah juga dibangun atas penghargaan terhadap tradisi lama yang baik, sebab pada hakikatnya Islam tidaklah memusuhi adanya tradisi lokal.
Keempat, progresif. Adanya perubahan praktik keagamaan di mana Islam mendapatkan tantangan yang harus dihadapi, sehingga Islam siap menerima dengan lapang dada untuk berdialog dengan pemikiran orang lain sekalipun itu pemikiran orang Barat.
Kelima, pembebasan. Islam menjadi ajaran yang mampu menjawab persoalan nyata yang sedang dihadapi umat manusia secara universal tanpa memandang dari latar belakang agama dan etnik. Dengan semangat pembebasan, maka Islam dapat dikatakan sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin atau menjadi rahmat bagi semesta. Pembebasan tersebut seperti pembebasan dari penindasan, kemiskinan, keterbelakangan, kesenjangan sosial, dan lain sebagainya.
Tanpa kita sadari, menurut Zainal Arifin Thoha, muara dari gagasan Gus Dur tersebut merupakan sebuah sekularisasi bernegara. Apabila kita lacak dari hulu sampai ke muaranya, Gus Dur memang dengan konsisten mengembangkan gagasanya tersebut. Jadi, antara pribumisasi Islam dan sekulerisasi bernegara intinya sama. Cuma penekanannya saja yang berbeda.
Gagasan sekularisasi bernegara tersebut dilemparkan Gus Dur dalam suatu forum diskusi politik di Jakarta pada 4 Februari 1999. Menurut Gus Dur, Indonesia sudah harus menentukan sikapnya apakah mau jadi negara sekular atau negara teokrasi. Dalam konteks ini, Gus Dur memetakan adanya tiga kelompok politik di Indonesia. Kelompok pertama menghendaki militer berperan dalam panggung politik. Kelompok kedua menginginkan adanya dominasi agama dalam ruang bernegara. Kelompok ketiga menghendaki antara agama dan negara harus dipisahkan (baca: negara sekular).
Di antara tiga kelompok tersebut, rupanya Gus Dur lebih condong mendukung kelompok terakhir, yaitu kelompok yang menghendaki pemisahan antara urusan agama dan negara. Alasan Gus Dur memilih bentuk negara sekular karena agama menjadi sumber inspirasi dan motivasi moral bagi masyarakat. Sebagaimana Nurcholish Madjid juga mengehedaki bahwa negara Indonesia harus disekularkan. Sebab, banyak orang yang menggunakan agama sebagai topeng untuk kepentingan politik picik.
Dalam konteks inilah Gus Dur menginginkan gagasan pribumisasi Islam ini sebagai jalan dakwahnya. Akan tetapi, upaya amar ma’ruf nahi munkar dalam gagasan pribumisasi Islam ini disejajarkan dengan konsep mabadi khoiru ummah atau demi kemslahatan umat. Secara konkret, implementasinya dengan menasionalkan perjuangan Islam dengan harapan tidak ada lagi kesenjangan yang terjadi baik karena kepentingan nasional maupun kepentingan Islam. Sebab bagi Gus Dur, yang dibutuhkan oleh umat Islam Indonesia adalah perlunya kesatuan apresiasi Islam menjadi aspresiasi yang berskala nasional. Di mana agama Islam diakui sebagai agama resmi negara selain agama-agama yang lainnya dan diimplementasikan dalam perilaku masyarakat.
Untuk mewujudkan gagasannya ini, Gus Dur menerapkan strategi dekonfesionalisasi melalui ormas seperti Nahdlatul Ulama (NU) guna menghindari terjadinya disintegrasi akibat politisasi agama dan juga memberikan jaminan pada Islam agar terlepas dari maneuver-manuver politik picik yang dapat merusak citra Islam.
Dengan gagasanya yang demikian, maka tidak heran jika Gus Dur dijuluki sebagai seorang “nasionalis sekular”oleh Douglas E. Ramage, seorang peneliti dari East West Center.
Menurut Gus Dur, manuver politik semacam itu dapat melahirkan kecurigaan bahwa umat Islam tidak sungguh-sungguh dalam berkomitmen terhadap Pancasila dan negara. Namun, Gus Dur melakukan strategi yang banyak menekankan pada pemembangan demokrasi melalui Forum Demokrasi. Menurut Gus Dur, tidak bisa dipisahkan hubungan Islam Indonesia yang bersifat toleran dengan demokrasi yang sehat. Keduanya saling mempengaruhi. Maka, Pancasila menjadi syarat bagi masyarakat yang demokratis dan agamais.
Menurut Gus Dur, yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia adalah konsep mengenai demokrasi sekular, yang mana hal ini membutuhkan tiga syarat fundamental dan mungkin bisa dijadikan jalan untuk mengembangkan demokrasi sejati di Indonesia. Perama, adanya pemisahan wilayah antara negara dan pemerintahan. Kedua, adanya pemisahan antara civil society dengan pemerintah. Ketiga, adanya pembagian kekuasaan di dalam pemerintahan. Oleh sebab itu perlu ada sistem cek dan keseimbangan di dalam kekuasaan.
Bagi Zainal Arifin Thoha, gagasan pribumisasi Islam ataupun sekularisasi bernegara pada dasarnya sama saja. Hanya pada pengamalannya saja yang berbeda. Kalau pribumisasi Islam lebih dimaksudkan untuk umat Islam, sekularisasi dimaksudkan untuk kehidupan bernegara.
Wow ajip