Pondok pesantren sampai hari ini masih menjadi ruang pendidikan Islam yang digandrungi oleh masyarakat secara luas. Dengan adanya berbagai riset yang mengangkat tema pesantren, justru menjadi bukti bahwa keunikan pesantren memang bukan lagi hal yang bersifat abal-abal. Tema riset yang kerap dijadikan topik utama adalah manajemen, pendidikan pesantren, kitab kuning, dan tradisi pesantren.
Dalam pendekatan antropologis, Clifford Geertz, Zamakhsyari Dhofier, Martin Van Bruinessen, dan lain sebagainya menemukan adanya interaksi Arab dan Nusantara melalui jaringan kebudayaan. Artinya, kebudayaan Nusantara sebagai fondasi interaksi dan Arab sebagai pengetahuan keberagaman bertemu dalam satu kondisi kebudayaan, yaitu kesadaran intelektual dan spiritual.
Salah satu aspek yang mempengaruhi penerimaan Islam di Nusantara adalah dengan adanya perjalanan haji. Berdasarkan riset Bruinessen, sejak abad ke-13 sudah banyak sekali orang-orang Nusantara yang pergi menunaikan Ibadah Haji. Hal ini menjadi salah satu aspek pendorong perkembangan Islam di Nusantara.
Oleh sebab itu, penerimaan orang-orang Nusantara melalui aspek kebudayaan terhadap Islam juga perlu digarisbawahi sebagai gerakan kebudayaan. Wali Songo menjadi mobilisator kebudayaan, sehingga Islam begitu bisa diterima di Nusantara dengan pendekatan kemanusiaan.
Sementara itu, santri dikenal sebagai murid dalam sistem pendidikan pesantren. Ada hal yang tertanam lekat dalam hati sanubari santri terkait kebudayaan dan keislaman. Santri dipahami sebagai sashtri, atau cantrik, jika diarahkan ke dalam kesejarahan lama di mana tentu memiliki visi peradaban dalam pendekatan pendidikan dan kebudayaan Islam.
Al-muhafadlah ‘ala al-qadimissalih, wa al-akhdu bi al-jadidi al-ashlah. Mempertahankan budaya lama dan mengambil nilai kebaikan dari yang baru, adalah prosedur komunikasi kebudayaan yang sampai saat ini masih dipegang erat dalam dunia pesantren, khususnya dunia santri.
Oleh karena itu, dapat kita lihat saat ini bahwa santri turut serta dalam rangkaian perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Santri yang menjadi bagian dari pesantren, di mana menurut Karel A. Steenbrink disebut sebagai implikasi sistem pendidikan tradisional Hindu Jawa, kemudian diaplikasikan dalam bentuk Islam, tentu memiliki orientasi pembentukan manusia agar selalu berkembang sesuai dengan pola dan konstruksi sosialnya.
Namun, santri juga menjadi ruang tak terbatas ketika dipandang sebagai subyek dalam menyambut kemajuan zaman. Santri sebagai manusia tentu dapat menjadi ruang yang sangat luas dalam menerima kemajuan teknologi dan informasi. Santri sebagai murid, tentu tidak akan keluar dari jalan yang sudah ditata rapi oleh kiai dan terlebih pengetahuan sejak lahir yang diwariskan oleh orang tua.
Artinya, santri tidak hanya bisa dipandang sebelah mata saja, atau dari kaca mata pendidikan Islam tradisional. Ibarat pendekatan transformatif, santri adalah ruang yang bisa menempatkan diri pada setiap zaman. Hal ini dapat dibuktikan dengan ragam fakta sosial sejak pra-kemerdekaan sampai pasca-kemerdekaan saat ini.
Walaupun demikian, santri juga tentu memiliki kekurangan yang tidak bisa dielakkan. Hal ini wajar, karena kondisi sosial selalu berkembang fluktuatif.
Bukan berarti santri kemudian menjadi satu orientasi pendidikan Islam yang paling bisa diandalkan, tentu banyak pola pendidikan yang dapat meramu sebuah peradaban. Hal yang tidak bisa ditinggalkan dan dilupakan adalah peran santri dalam setiap kondisi sosial yang ada. Dan, sikap yang muncul dalam melihat realitas adalah kunci bahwa santri adalah pribadi yang dibentuk untuk melihat kondisi sosial dari berbagai arah. Santri adalah manusia yang setia menjadi manusia itu sendiri.
Dengan kata lain, santri memiliki peran atas kepekaan sosial. Memiliki peran atas keterbukaan zaman terhadap pengetahuan dan kemajuan teknologi. Di mana, kesemua itu mempengaruhi pola dan sikap manusianya.
Jika melihat konteks historisnya, maka santri selalu siap dan mampu membaca arah perkembangan dan perubahan. Tidak hanya dalam ruang pendidikan, politik dan sosial, tetapi juga dalam konteks stabilitas kehidupan yang lebih luas. Dengan kata lain, kesadaran dan kepekaan terhadap arah perubahan itu sudah dipupuk melalui ragam tirakat dan penempaan diri di pesantren.