Setiap kali mendengar kata “rumah ibadah,” yang terlintas di benak kita biasanya adalah bangunan dengan arsitektur khas, suasana hening, dan aktivitas ritual yang sakral.
Tapi apakah cukup jika rumah ibadah hanya menjadi tempat suci untuk berdoa? Apakah ia tidak bisa lebih dari sekadar bangunan?

Dalam konteks masyarakat plural seperti Indonesia, rumah ibadah mestinya tidak hanya menjadi simbol keimanan personal, tapi juga ruang bersama untuk merajut tenun sosial, membentuk habitus toleransi, serta memperkuat nalar keberagamaan yang inklusif.
Sayangnya, wacana rumah ibadah di Indonesia sering kali berkelindan dengan problem sosial-politik. Pendirian rumah ibadah—terutama milik kelompok minoritas—masih kerap menghadapi kendala.
Misalnya, dalam laporan Setara Institute (2023), dari 200 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, sebagian besar berkaitan dengan pembatasan terhadap pembangunan atau aktivitas rumah ibadah. Ini menunjukkan adanya ketegangan antara norma hukum dan praktik sosial yang belum selesai kita benahi.
Padahal, secara hukum, Indonesia telah memiliki regulasi yang menjamin kebebasan tersebut. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 menegaskan bahwa rumah ibadah bisa didirikan selama memenuhi syarat administratif dan adanya dukungan dari masyarakat setempat. Namun, dalam implementasinya, aturan ini sering menjadi alat negosiasi politik identitas yang justru memperlebar jarak antarkelompok.
Sakral, Tak Eksklusif
Masalahnya bukan hanya soal hukum, tetapi persepsi sosial. Kesakralan rumah ibadah seringkali dipahami secara eksklusif.
Dalam konsepsi sosiolog Emile Durkheim (1912), hal sakral adalah sesuatu yang dipisahkan dan dilarang untuk aktivitas profan (duniawi). Namun, jika rumah ibadah hanya diposisikan sebagai ruang sakral yang steril dari aktivitas sosial, kita justru mereduksi potensinya dalam membentuk kesadaran kolektif yang holistik.
Realitas kekinian menuntut agar rumah ibadah juga memainkan peran sosial. Seperti dijelaskan oleh Abdurrahman Wahid (2001), agama yang tidak membumi dalam realitas sosial hanyalah dogma kering. Oleh karena itu, rumah ibadah semestinya menjadi ruang transformatif yang bisa menyentuh kebutuhan masyarakat: dari pendidikan, layanan kesehatan, hingga pemberdayaan ekonomi. Masjid, gereja, vihara, pura, dan kelenteng tidak cukup hanya menjadi tempat ritual, tapi juga tempat berpikir, berdiskusi, bahkan bertindak.
Dalam praktiknya, sudah banyak rumah ibadah yang menjelma menjadi pusat kegiatan sosial. Misalnya, beberapa masjid di Yogyakarta mengelola koperasi syariah dan taman bacaan. Beberapa gereja di Bandung membuka dapur umum untuk warga sekitar tanpa memandang agama. Vihara di Trowulan aktif dalam pelatihan pengelolaan sampah dan konservasi tanaman obat. Artinya, ketika rumah ibadah membuka diri, ia menjadi titik temu lintas iman dan lintas profesi.
Keindahan dan Kenyamanan
Terlalu lama kita memahami rumah ibadah dalam kerangka minimal: cukup ada ruang salat atau altar, maka fungsinya sudah selesai. Padahal, kenyamanan dan estetika adalah bagian dari nilai spiritual itu sendiri.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan.” (HR. Muslim).
Konsep ini juga sejalan dengan prinsip Hindu dalam Tri Hita Karana yang menekankan harmoni dengan Tuhan, sesama, dan alam semesta. Dalam Buddhisme, Dhamma yang sejati pun dipahami sebagai sesuatu yang “indah dari awal, tengah, hingga akhir.”
Rumah ibadah harus didesain sebagai ruang yang mengundang: bersih, ramah, wangi, dan nyaman. Bukan hanya dari sisi arsitektur, tapi juga dari aspek pelayanan. Misalnya, tersedianya ruang istirahat, toilet yang bersih, area ramah anak, bahkan kantin sehat. Hal-hal kecil ini menciptakan suasana spiritual yang tidak mengasingkan, tetapi merangkul.
Habitus Sosial
Rumah ibadah juga bisa (dan seharusnya) menjadi “house home of learning”—rumah tempat belajar. Belajar bukan hanya tentang teks suci, tapi juga belajar hidup bersama. Di sinilah pentingnya membangun habitus baru: kebiasaan berdialog, berkolaborasi, dan menyelesaikan konflik secara damai.
Konsep “habitus” menurut Pierre Bourdieu (1990) adalah struktur mental yang dibentuk melalui pengalaman kolektif, dan rumah ibadah adalah lokasi yang strategis untuk menanamkan nilai-nilai ini.
Bayangkan jika setiap rumah ibadah memiliki ruang diskusi terbuka, forum warga lintas agama, perpustakaan umum, dan pelatihan keterampilan. Maka rumah ibadah tidak lagi eksklusif untuk kelompok internal, tapi menjadi simpul kehidupan publik yang memberi manfaat nyata.
Seperti yang dikatakan Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed, pendidikan sejati adalah yang membebaskan dan memanusiakan. Dan rumah ibadah bisa menjadi lokus dari proses pembebasan itu.
Ekologi Spiritual
Satu aspek penting yang kerap dilupakan adalah peran rumah ibadah dalam membangun kesadaran ekologis. Spiritualitas tidak berhenti di sajadah atau altar, ia harus merambah pada kepedulian terhadap bumi. Rumah ibadah bisa menjadi pelopor gerakan hijau: mulai dari penghijauan, pengelolaan sampah, hingga kampanye hemat energi. Tidak sedikit gereja dan vihara yang kini mengusung konsep “green building” sebagai bentuk spiritualitas ekologis.
Gerakan ini penting karena krisis iklim bukan hanya masalah ilmiah, tetapi juga masalah moral dan spiritual. Seperti kata Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ (2015), “Krisis ekologi adalah cerminan dari krisis batin manusia.” Maka rumah ibadah, sebagai pusat pembentukan moralitas, semestinya menjadi garis depan dalam perjuangan menjaga bumi.
Ruang Bersama
Akhirnya, rumah ibadah bukanlah milik satu kelompok saja, tetapi bagian dari ruang sosial bersama. Ketika ia ditutup untuk orang lain, ia kehilangan makna transendennya. Ketika ia terbuka, ia memancarkan nilai kasih, pengharapan, dan kedamaian. Rumah ibadah tidak hanya bicara kepada Tuhan, tapi juga kepada sesama manusia dan alam semesta.
Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, rumah ibadah bisa menjadi titik temu di tengah segala perbedaan. Ia bisa menjadi tempat mengendapkan konflik, membangun empati, dan menumbuhkan solidaritas. Tapi itu hanya mungkin jika kita memaknainya lebih dari sekadar tempat suci, melainkan sebagai simbol peradaban yang hidup—yang belajar, yang berubah, dan yang menginspirasi.
Daftar Pustaka:
Durkheim, E. (1912). The Elementary Forms of Religious Life. London: George Allen & Unwin.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
Bourdieu, P. (1990). The Logic of Practice. Stanford: Stanford University Press.
Wahid, A. (2001). Ilusi Negara Islam. Jakarta: The Wahid Institute.
Setara Institute. (2023). Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia.
Paus Fransiskus. (2015). Laudato Si’: On Care for Our Common Home.
Alamsyah, A. (2022). “Rumah Ibadah Sebagai Sarana Alternatif Penunjang Kebutuhan Dasar Masyarakat.” Jurnal PaKMas, hlm. 109.
Septiana, A. (2021). “Habitus Toleransi Pendidikan Buddha di Maha Vihara Majapahit Trowulan.” Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan, Vol. 7(2), hlm. 164–165.