Saya pernah mengira magnum opus Edward W Said, Orientalism, segera usang dan akan menjadi buku sejarah. Orientalism akan tersuruk di sebuah pojok masa lalu kita, ketika zaman telah dan terus berubah oleh revolusi demi revolusi, hingga apa yang kini kita sebut sebagai revolusi industri 4.0.
Ternyata saya salah. Orientalis dan orientalisme tak pernah mati.
Apa yang ditelanjangi Edward W Said melalui Orientalism, nyaris sendirian dan hampir sepanjang hidupnya sebagai seorang imigran dalam pengertiannya yang kompleks, adalah memang masa lalu. Masa ketika jarak yang membentang antara apa yang disebut Timur dan Barat benar-benar jauh, baik secara geografis maupun etnografis.
Begitu jauhnya jarak yang membentang itu, hingga untuk mengenal satu dari yang lain, the others, Barat mengenal Timur, hanya bisa dilakukan melalui imajinasi. Maka, sepenuhnya orientalisme dibangun di atas fondasi imajinasi itu. Pun, ketika akhirnya orang-orang Barat untuk kali pertama bisa menjejakkan telapak kaki di tanah-tanah terjal yang ada di Timur, mereka masih membawa serta imajinasi itu.
Mereka ini, yang kemudian disebut sang orientalis, mendefinisikan Timur berdasarkan imajinasi itu, dalam beragam catatan dan buku dari berbagai genre. Dan mereka menyebutnya sebagai karya ilmiah. Berdasarkan imajinasi itu pula, Timur akhirnya diposisikan sebagai objek kajian, dikonstruksi sebagai dunia lain yang primitif dan eksotis. Timur adalah “harta karun” yang ditemukan oleh Barat.
Orientalisme kemudian membuka pintu bagi masuknya kolonialisme. Itu terjadi, baik dengan cara persuasi maupun koersi, setelah Timur menerima definisi atas dirinya seperti yang dikonstruksi atau diimajinasikan Barat. Dengan cara itulah Timur “menerima” kehadiran Barat melalui kolonialisme.
Tapi, sekali lagi, yang ditelanjangi Edward W Said itu adalah abad-abad lampau, ketika jarak geografis maupun etnografis Timur dan Barat membentang begitu jauh, begitu nyata. Karena itu, ketika revolusi demi revolusi terus terjadi, ketika seisi dunia tak lagi berjarak, ketika era digital dihuni oleh generasi milenial, orientalisme sebagai cara berpikir Barat dalam memandang Timur semestinya telah usang. Telah mati dikubur dalam-dalam.
Namun, apa yang ditunjukkan Majalah Charlie Hebdo dan Presiden Prancis Emmanuel Macron membuktikan bahwa orientalis dan orientalisme ternyata tak pernah mati. Keduanya berdiri mewakili orientalisme dari masa lalu, meskipun sudah hidup di era digital yang dihuni generasi milenial. Mereka masih seperti sang orientalis dan produk orientalisme. Mereka masih memandang Timur, dan Islam sebagai salah satu representasinya, sesuai dengan yang mereka imajinasikan.
Mempublikasikan karikatur Nabi Muhammad dalam Majalah Charlie Hebdo adalah sebuah pengulangan dari penerbitan catatan dan buku-buku yang dibuat oleh para orientalis dari abad ke-15 hingga abad ke-20. Mendefinisikan Islam sesuai dengan apa yang diimajinasikan adalah cara berpikir para orientalis dari masa lalu.
Charlie Hebdo dan Macron, sebagai representasi Barat masa kini, rupanya belum bisa keluar dari bayang-bayang masa lalu. Masa yang dari sudut pandang generasi milenial akan dianggap sebagai primitif. Namun, akan sama primitifnya jika respons yang diberikan oleh Timur ternyata sama persis seperti yang dikonstruksi dalam orientalisme: bahwa Timur adalah yang menyukai budaya kekerasan nan bengis.
Keduanya menunjukkan bahwa dunia boleh berubah, namun cara berpikir manusia ternyata belum berubah.
Semesta berzikir dalam kontradiksi Charlie Hebdo, dalam riak gerak anarkhisme (dalam segala aspek terjemahnya).