Kretivitas saya menulis sudah tumbuh sejak masih SMP. Pada saat itu, saya mendapat tugas membuat cerita. Kemudian, saya adopsi dengan buku yang saya baca berjudul Kerbau dan Tengkorak Hidup.
Cerita ini mengisahkan tentang diskresi antara satu orang yang berbadan gemuk (teman saya, sebut saja namanya Hoy), dan orang lainnya yang berperawakan kurus (juga teman saya, sebut saja namanya Rah). Keduanya berperan sebagai tokoh utama yang punya karakter berbeda, sehingga selalu menimbulkan perseteruan. Judul tulisan Kerbau dan Tengkorak Hidup sempat viral pada masanya, meski hanya terbatas di sekitar sekolah saja.
Selanjutnya, skill menulis saya berkembang cukup baik pada saat mondok di Pondok Pesantren Annuqayah. Saya biasa menulis di sebuah majalah dinding (mading) pesantren yang bernama Bengkel Mayang. Pada saat itu, tulisan saya yang dimuat berupa sebuah puisi. Berikutnya, saya juga pernah menjadi tim redaksi majalah Nuansa: Annuqayah dari Masa ke Masa, sebuah majalah tahunan yang biasanya terbit pada akhir sanah, kenaikan kelas, atau kelulusan yang diformat dengan kegiatan imtihan.
Soal skill kepenulisan, suatu ketika saya mengirimkan tukisan ke harian Surabaya Pos. Pada rubrik Social Concern, sebuah catatan kecil yang terdiri dari tulisan berbahasa Inggris, saya membahas tentang keberadaan burung yang sudah semakin terdesak. Pada saatnya nanti, kalau tidak diantisipasi, akan mengalami kepunahan.
Saya menulis topik itu dalam bahasa Inggris, kemudian diberikan kepada guru saya, native spaker dari USA, Brian Hermon, untuk dikoreksi. Semula tulisan itu berjudul Oh The Birds, tapi kemudian diganti oleh guru bahasa Inggris saya menjadi Unfurtunately Birds, termasuk beberapa susunan kalimat yang kurang baik.
Saya tidak terlalu sering berkirim tulisan ke media. Namun, ada beberapa yang dimuat dan mendapat honor. Termasuk di antara tulisan saya yang mendapat apresiasi tentang eksistensi burung di atas. Setelah menunggu entah beberapa waktu lamanya, tiba-tiba datang wesel pos (saya belun kenal rekening bank saat itu), yang memberitahukan bahwa itu adalah honorarium dari tulisan saya di Surabaya Pos.
Pada saat itu tahun 1990-an, sekitar tahun 1991 atau 1992, saya lupa pastinya. Mendapat honor Rp 150 ribu sungguh bukan jumlah kecil pada waktu itu. Harga premium masih di bawah Rp 1.000. Jadi, kalau saya belikan premium pada saat itu, mungkin saya bisa membuka outlate POM Mini. Uang kiriman saya pada saat itu Cuma Rp 10.000 per bulan. Jadi, seharusnya saya tidak perlu kiriman orang tua selama 1 tahun 3 bulan. Hee… itu dalam hitung-hitungan angka, kenyataannya saya tetap dikirim normal setiap bulan dari rumah.
Jadi, honor pertama menulis sudah saya dapatkan ketika saya masih menjadi santri aktif. Itu artinya, sejak awal pesantren telah menjadi basis pembentukan iklim kepenulisan. Menurut cerpenis Juwairiyah Mawardi, “Santri secara fisik memang terpenjara. Namun, imajinasi dan pemikirannya melanglang buana menembus batas dan berkelana ke seantero jagat.”
Pesantren, menurut Raedu Basha, yang bukunya (Sastrawan Santri: Etnografi Sastra Pesantren) mendapat penghargaan Sotasoma, merupakan pusat sastrawi yang mencetak banyak sastrawan dan menjadi penulis produktif di berbagai bidang keilmuan.
Itulah jejak tentang kepenulisan saya. Tentu, teman-teman juga memiliki kenangan khusus tentang dunia pekenulisan. Dimuat pertama kali di sebuah media (dulu pastinya media cetak), akan membuat kenangan tersendiri. Tulisan pertama yang mendapat apresiasi akan menjadi pemicu tumbuh kembang ruh kepenulisan di masa-masa selanjutnya. Semoga tulisan ini menjadi peledak jiwa kepenulisan agar jejak sejarah tidak terurai tanpa makna. Ada nilai-nilai luhur yang dapat dipetik dari tulisan yang kita buat, oleh generasi yang akan datang. Aamiin!
Wallahu A’lam!