Dalam sejarah panjang republik ini, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan keagamaan. Ia adalah urat nadi moral bangsa, tempat karakter ditempa dan nurani dijaga. Dari ruang-ruang kecil beralaskan tikar, lahir kesadaran kebangsaan, keberanian melawan penjajahan, hingga gagasan tentang kemerdekaan.
Namun entah mengapa, setiap kali tragedi menimpa pesantren, seperti ambruknya bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny. Akal sehat publik sering kali ikut runtuh. Pesantren dituding kolot, feodal, bahkan diserukan untuk dibubarkan. Tuduhan seperti itu bukan hanya tidak adil, tapi juga ahistoris.

Jejak Para Presiden di Pesantren
Tak ada satu pun presiden Indonesia yang tak bersinggungan dengan pesantren. Sukarno datang ke para kiai untuk memohon restu spiritual bagi republik muda. Soeharto, dengan segala otoritasnya, tetap berhati-hati menyentuh dunia pesantren karena ia tahu legitimasi religius tak bisa dibeli dengan kekuasaan. B.J. Habibie melihat pesantren sebagai sumber etika publik dan moralitas ilmu.
Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, adalah puncak pertemuan Islam pesantren dan politik modern. Dari rahim pesantren lahir sikap keberagamaan yang terbuka dan welas asih. Dari tradisi itulah Gus Dur berani menghapus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dan mengembalikan kemanusiaan dalam politik.
Dalam pencalonan presiden, Megawati memahami bahwa kekuasaan tanpa sentuhan spiritual bisa kehilangan arah. Sebabnya, Ia menggandeng KH Hasyim Muzadi untuk memperkuat legitimasinya. Susilo Bambang Yudhoyono menjaga relasi dengan kalangan religius lewat majelis zikirnya. Joko Widodo menetapkan Hari Santri Nasional sebagai bentuk penghormatan negara terhadap tradisi keilmuan pesantren. Kini Prabowo Subianto berulang kali sowan ke ratusan pesantren, mencari restu doa, pertanda pesantren masih menjadi sumbu spiritual politik Indonesia.
Jika pesantren benar-benar kolot, mengapa para pemimpin bangsa justru terus datang meminta doanya?
Tragedi dan Stigma
Runtuhnya bangunan Al-Khoziny adalah duka mendalam. Tapi menyamakan duka dengan kebodohan adalah kezaliman intelektual. Investigasi awal menunjukkan adanya kegagalan konstruksi dan kelalaian teknis, masalah sipil, bukan spiritual. Namun di ruang komentar media sosial, tragedi itu berubah menjadi peluru penghinaan. Pesantren dituding sarang feodalisme dan kebodohan.
Media pun, alih-alih mendinginkan suasana, justru menambah bara. Tayangan Xpose Uncensored di Trans7 misalnya, menggambarkan kehidupan pesantren dengan framing kasar: santri jongkok, kiai kaya raya, amplop dijadikan simbol ketimpangan. Narasi seperti ini berbahaya karena mengaburkan batas antara kritik sosial dan penghinaan kultural. Kritik boleh, tapi harus paham konteks. Tradisi penghormatan kepada kiai bukan feodalisme, melainkan ekspresi spiritualitas dan etika yang membentuk karakter bangsa selama berabad-abad.
Otokritik
Namun sebagai santri, saya tak ingin jatuh pada glorifikasi buta. Pesantren memang berjasa besar bagi republik, tapi bukan berarti tanpa cela. Banyak pesantren abai terhadap standar keselamatan bangunan, lemah dalam manajemen, dan kadang terjebak dalam kultus personal terhadap figur kiai.
Cinta sejati kepada pesantren bukan dengan menutup mata, tetapi dengan berani memperbaikinya. Santri harus menuntut akuntabilitas, transparansi, dan menempatkan keselamatan sebagai bagian dari amanah ilmu. Negara juga tidak boleh lepas tangan. Pesantren adalah bagian dari sistem pendidikan nasional, bukan entitas pinggiran yang hanya diingat saat kampanye.
Menolak Framing
Pesantren telah memberi banyak hal yang sering dilupakan sejarah. Dari seruan jihad Kiai Hasyim Asy’ari hingga pengorbanan para santri mempertahankan kemerdekaan. Dari pendidikan moral di pelosok hingga lahirnya ulama yang menjaga keseimbangan antara agama dan negara.
Ketika bangsa kehilangan arah moral, pesantren tetap menyalakan pelita, sederhana, tapi tak padam. Menyerang pesantren berarti menyerang fondasi kultural bangsa sendiri. Namun pesantren juga harus berani berubah: bukan dengan meninggalkan tradisi, tetapi memodernkan pengelolaan, memperkuat riset, membuka diri terhadap teknologi, dan tetap memegang prinsip tawassuth, moderasi dalam berpikir, keteguhan dalam nilai.
Momentum Hari Santri
Tiap 22 Oktober 2025, bangsa ini kembali memperingati Hari Santri. Namun peringatan sejati bukanlah parade sarung dan pidato simbolik. Hari Santri mestinya menjadi cermin bagi pesantren untuk melihat luka-luka yang perlu disembuhkan: keterbatasan fasilitas, lemahnya sistem keamanan, hingga masih adanya relasi kuasa yang belum seimbang.
Karena pesantren sejati adalah tempat di mana tauhid diwujudkan dalam kehidupan sosial: tiada yang lebih tinggi kecuali karena takwa, dan tiada otoritas selain kebenaran. Seperti kata Ali bin Abi Thalib, “Aku adalah hamba bagi orang yang mengajarku satu huruf.” Sebuah pernyataan kerendahan hati yang justru membebaskan manusia dari penghambaan kepada manusia.
Santri adalah penjaga nilai itu. Ia bukan makhluk masa lalu, melainkan jantung masa depan. Selama masih ada santri yang berpikir, mengajar, menulis, dan mencintai bangsanya, pesantren tak akan pernah runtuh.
Tasikmalaya, 21 Oktober 2025.
