Sebuah buku “berani” dengan judul Hadrah Nyai. “Kolaborasi” antara sejarah, perempuan, dan puisi, buku ini menyajikan antara fata dan fiksi. Faktanya adalah kiprah ulama perempuan untuk membangun peradaban yang islami. Sedangkan, fiksinya adalah larik liris puitika yang membangun nuansa syair yang indah dan mempesona. Disebut berani, karena penulisnya mampu membangun elaborasi historika dengan syair-syair indah dalam suatu fakta sejarah.
Di dalam prolognya, Dr Nur Rofi’ah, Bil.Uzm, dengan judul “Bukan di Balik atau di Belakang, tapi di Samping”, mengatakan, “Salah satu semangat zaman yang kuat menjiwai karya keren ini adalah pengakuan pada peran penting ulama perempuan….”.
Sebuah dialektika relaistis dalam kehidupan ini bahwa peran (ulama) perempuan tidak dapat dipandang sebelah mata. Dialektika peran perempuan di atas lirik puisi yang tidak sebagaimana biasanya. Ilmiah di atas kata-kata yang begitu indah mempesona.
Hadrah Nyai yang ditulis oleh Raedu Basha, seorang kiai muda sekaligus penyair kenamaan, merupakan buku dwilogi bersama Hadrah Kiai yang diterbitkan sebelumnya. Keberanian penulis yang bernama asli Badrus Shalih ini adalah kolaborasi antara sejarah, perempuan, dan puisi. Sebuah realita yang dibangun di atas lirik syair yang indah. Karya fenominal yang harus diapresiasi agar menjadi cerminan kehidupan bagi generasi yang akan datang.
Salah satu ulama perempuan yang didapuk sebagai sosok yang inspirarif dalam buku ini adalah Sitti Aisyah We Tenre Olle (hal. 57). Beliau adalah perempuan yang berkalung bismillah: kalimatullah. Salah satu bagian nukilan syairnya: kalender masehi 1855 sampai 1910//duduk gagah di kursi tahta//si bayi telah dewasa bertanju kalimatullah//si perempuan menanamkan kedamaian//terbelalak mata raffles dalam keterpesonaan.