Semaan Puisi ke-100 di Keraton Kaibon

Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah 8 menggelar acara Semaan Puisi Episode ke-100 sebagai bagian dari rangkaian Festival Sasaka Cibanten di situs bersejarah Keraton Kaibon, Banten, pada Sabtu malam, 25 Oktober 2025.

Acara yang dipadati oleh masyarakat, budayawan, mahasiswa, dan seniman ini terasa spesial karena dilaksanakan di lokasi bersejarah dan mengangkat puisi-puisi karya penyair asli Banten, Toto ST Radik. Semaan Puisi memilih episode ke-100 ini sebagai panggung istimewa di tanah kelahiran sang penyair.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Festival Sasaka Cibanten merupakan inisiatif BPK Wilayah 8 Kementerian Kebudayaan untuk menggabungkan pelestarian sejarah, budaya Banten, dan konservasi lingkungan Sungai Cibanten. Kegiatan di Keraton Kaibon ini menjadi titik puncak di wilayah hilir, setelah sebelumnya digelar di titik hulu (Cibanten, Ciomas) dan tengah (Gedung Juang 45, Umah Kaujon).

“Sasaka Cibanten bertujuan untuk menghubungkan kembali ingatan kolektif masyarakat Banten dengan Sungai Cibanten, yang merupakan urat nadi sejarah dan identitas Banten,” ujar perwakilan panitia, sekaligus mengajak audiens untuk menjaga lingkungan sungai.

Tausiah Kebudayaan

Budayawan Indonesia, Jamal D Rahman, turut hadir menyampaikan tausiah kebudayaan yang didasarkan pada esainya yang berjudul “Syekh Nawawi dan Multatuli: Merenungkan Bias Kolonial dalam Tubuh Kita.” Esai ini menjadi pemantik diskusi mendalam mengenai cara kita memahami sejarah dan warisan budaya Banten.

Jamal D Rahman mengutip judul tafsir 30 juz Al-Quran berbahasa Arab karya Syekh Nawawi Banten, Marâh Labîd, yang berarti ‘tempat istirahat bagi burung-burung yang datang dan pergi’. Metafora ini digunakan untuk melihat Banten tidak sekadar sebagai wilayah geografis, melainkan ruang kultural yang menampung, merawat, sekaligus mengantarkan energi rohani dan intelektual ke laut lepas.

Dalam konteks dekolonialitas, Jamal D  Rahman menyoroti peran Syekh Nawawi Albantani sebagai rahim nasionalisme di Nusantara melalui atribusi kedaerahan yang disematkan dalam karya-karyanya (Attanari, Albantani, Aljawi).

Poin krusial dari tausiah tersebut adalah bahwa kolonialisme paling halus bekerja bukan di pelabuhan, melainkan di cara kita mengingat dan mengenang.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan