Hampir setiap sore di beberapa minggu terakhir ibu selalu menyuruh agar tumpukan sampah rumah kami dibuang. Aku dengan si X (nama untuk motor kesayangan) harus pergi ke pojok desa. Sebelah lapangan sepak bola di pinggiran pemakaman desa, ada sebuah TPA untuk berbagai sampah rumah tangga.
Setiap sore juga aku sering melihat senja dengan warna keemasannya. Tapi semakin hari kadang aku semakin kasih padanya. Dia selalu saja dijadikan tampungan setiap kesedihan dari orang-orang. Tanpa harus tahu akan kesedihannya sendiri. Kadang memang terlalu mudah untuk membicarakan diri kita pada apa pun, atau pada siapa pun. Tanpa mau mendengar cerita dari siapa pun, atau dicurhati siapa pun. Malah kadang bila ada orang yang ingin menumpahkan kesusahannya, kita akan asik menimpalinya dengan kesedihan kita sendiri.
Ah, saat aku menatap cahaya emas itu. Aku tak luput dari jajaran batu nisan yang selaras arahnya dengan mega. Aku ingat bahwa ada sosok di sana sebagai penampung semua luka. Bapak. Entah, di setiap belahan Bumi mana pun ibu memang diagungkan sebagai sosok paling sakti. Bahkan, pakde pernah bilang padaku bahwa ibu adalah jelmaan Tuhan paling nyata di muka Bumi. Ajaran agama mengangkatnya pada tiga tingkatan di atas ayah. Doanya seakan sapu jagat yang bisa mengempaskan segalanya. Marahnya adalah kiamat kecil yang diciptakan Tuhan bagi para anak-anaknya.
Tapi, tetap saja, sebagai seorang pria yang entah kapan menjadi ayah, aku akan menjelma tampungan tiap luka keluarga. Dan aku harus siap akan hal itu.
Aku adalah seorang pria yang hidup di bawah bayang-bayang ayahnya.
Menjelma bisu pada luka.
Menjadi teras bagi keluarga.
Dan hanya di leram oleh lapangnya dada.
Dan ketakutan itu tak ubahnya nyata.
Itu hanya sebaris puisi yang kusimpan dalam catatan. Aku menyimpan semua rasa yang hilang dalam dadaku sendiri. Ah, andai ada yang bisa kucurhati selain bapak. Tapi memang semua tak bisa terulang kembali.
“Kus, dari mana? Kok lama?”
“Dari buang sampah. Tadi ibu yang suruh,” jawabku pak kakak perempuanku.
Aku menatap semua tugasku saat pulang. Dan akhirnya hanya berdiam di kamar. Mengutak-atik laptopku yang hampir kuhancurkan sendiri. Namun karena teringat siapa yang membelikannya, kutahan semua amarah. “Kenapa semua ini harus terjadi,” desahku di kamar. Sendiri.
Pada setiap ujung minggu aku menyempatkan datang ke kuburan. Hanya sekadar membaca beberapa bacaan. Lalu sering kali terdiam hingga ujung petang di sana. Bahkan cahaya mega yang tiap kali kulihat pada sore hari tak kuhiraukan lagi.
“Aku sudah tak tahan lagi,” ucapnya waktu itu lewat panggilan suara.
“Apa salah bila menahan rasa untuk beberapa hari. Saya hanya ingin tenang, agar ini cepat selesai. Agar kita bisa lebih siap lagi.”
“Oh, berarti ini salahku?! Ini maumu? Baik. kita sudahi saja,” dia menutup teleponnya dari seberang.
Aku tak tahu kenapa Aisy, pacarku itu, tiba-tiba marah. Di desa ini memang tak ada sinyal yang memadai. Meskipun ada paket data sisa pemberian sepupuku, tak selalu ada waktu untuk membalas chatnya. Dan juga tak selalu ada uang untuk membeli paket datanya. Ah, apalagi ini, Gusti. Tak cukupkah dengan semua permasalahanku yang ada di kota. Biarkan aku sejenak meraih tenang di pelosok desaku ini.
“Kus…,” itu suara ibu.
“Iya.”
“Nanti coba bantu pakde angkat gabah. Barangkali dapat jatah.”
“Tapi nanti jadwalnya ngaji ke kuburan.”
“Sudah jangan bantah! Besok juga bisa. Bapakmu tak akan ke mana-mana.”
“Kata pakde besok juga tak apa-apa.”
“Sudah sekarang saja! Kita butuh uang!”
Sudahlah, saat para perempuan marah mereka tak akan lagi mendengar penjelasan apa pun.
Seusai maghrib. Setelah membersihkan badan dari berbagai lumpur. Lalu rutinitas mingguan di kampungku berjalan. Sebatang rokok dari tahlilan kusulut di belakang rumah. Tempat biasa bapak dulu memotong ayam untuk dagangan. Tugasku tinggal sedikit lagi, tapi para pembimbing hilang bak ditelan bumi. Yang kuanggap bisa menjadi teman hidup seterusnya juga tak ada kejelasannya. Semua alasan untuk melanjutkan proses ini juga menghilang, dipanggil Tuhan. Dan keluarga, ah iya. Aku masih punya itu….
Tapi sejak kapan ibu pernah mendengar ceritaku. Bahkan hingga tak terhingga aku menceritakannya. Tak ada jawab yang sama sekali memuaskan. Kepulan asap itu sudah kuembuskan beberapa kali. Batangnya telah terbakar setengah. Pada detik kesekian aku membaca Al-fatihah.
“Kenapa lagi?”
“Sudahlah, mungkin macul sawah lebih baik sekarang.”
“Lah bukannya sedikit lagi lulus?”
“Iya, tapi semua semakin rumit.”
“Apa semua lelaki harus menahan semua derita sendiri?” tanyaku resah menghadapnya.
“Sebagian besar, karena itulah alasan dada kita lebih bidang daripada wanita.”
“Kita ini hanya sebuah wadah. Atas segala hal telah kita korbankan. Semua pujian dan kemuliaan hanya milik mereka yang nyata menampakkan diri. Dan tugas bayangan hanya sebagai pelampiasan bila yang nampak melakukan kesalahan,” lanjutnya.
“Pak, saya lelah. Saya seperti sebatang kara. Apa dulu jadi bapak seperti ini?” tanyaku lagi dengan lelah.
“Kita ini bagai kota, dan wanita seperti musim. Lalu orang-orang di sekitar kita, layaknya orang-orang yang hidup dalam kota.”
“Hah?” tanyaku sambil meliriknya dengan mengangkat sebelah alis.
“Kita ini kota, Yang kokoh menyediakan segalanya. Bagi musim, kita harus bisa bertahan dan membentuk keselarasan dengan dia. Namun orang-orang tak akan pernah cukup dengan kota. Mereka akan menuntutnya agar lebih sempurna lagi.”
“Saya tetap tak mengerti, pak.”
“Jadilah kota yang kuat, tanpa memikirkan apakah kau dianggap atau tidak. Yang jelas, tanpa kota orang-orang kehilangan arah.”
Aku melayangkan pertanyaan terakhir, apakah lelaki tak boleh letih dengan bebannya. Sebelum dia pamit, dia mengatakan bahwa kota hanya bisa bergantung pada yang merancangnya. Seperti kita yang harus bergantung pada perancang kita. Itu pesan terakhirnya. Sebelum aku membuka mata. Membuyarkan imajinasi yang seakan-akan berada di samping nisan bapaknya. Dengan senja, sinar keemasan, dan lalu bapaknya menjawab semua curahan resah miliknya.