Jono pulang dengang seamplop gaji yang berada di sakunya. Gaji yang dibawanya justru membawa ketakukan akan tidak terpenuhinya kebutuhan bulan depan. Masa pandemi yang belum berakhir ini membuat gaji yang didapatnya semakin menurun. Hal itu terjadi karna omzet gudang kayu, tempatnya bekerja, menurun.
“Ini Bu gajiku bulan ini.”
Lastri membuka amplop putih yang diberikan suaminya. Ia mengeluarkan isi amplop yang isinya empat lembar uang pecahan seratus ribuan. Melihat gaji itu, Lastri menghela napas dalam.
“Semakin bulan semakin menurun gaji Bapak.”
“Seharusnya kita bersyukur, Bu, karena aku masih dipekerjakan sebagai penjaga malam di gudang yang hampir kosong itu. Semua temanku jaga sudah dirumahkan. Pak Selo hanya menempatkan karyawan yang sudah tua untuk menjaga gudang itu. Ia sadar bahwa aku dan Pardi sudah tidak laku lagi di dunia kerja.”
Jono berhenti sejenak menyeruput kopi pahit tanpa gula.
“Hidup kadang sepahit kopiku ini. Di balik kepahitan ini, kita harus instropeksi, apakah kita sudah menjalakan perintah Allah dengan baik? Jika sudah, maka kita harus bersabar menghadapi kepahitan ini. Kita tahu manisnya kopi jika kita pernah merasakan kepahitan dari kopi itu.”
“Kopimu memang pahit karena gajimu tak cukup untuk beli gula!” jawab Lastri dengan bersungut.
“Kita harus berpikir dengan kepala dingin. Emosi tidak menyelesaikan masalah kita. Aku sudah memikirkan penghasilan tambahan untuk kita. Kemarin, aku sudah izin sama Pak Selo untuk meminjam tempat di halaman gudangnya untuk berjualan nasi pecel. Alhamdulillah, dia menyetujuinya, Bu. Kita tidak perlu menyewa tempat itu. Fasilitas air, listrik, bangku, dan sebagainya boleh digunakan.”
“Tempat itu, kan, sepi Pak. Mana bisa laris kalau kita jualan di sana.”
“Tempat memang kurang ramai. Jika kita serius berusaha dan berdoa, Insyaallah pasti akan ada pembeli. Dulu bukankah kita pernah berjualan pecel di Pasar Baron. Walaupun banyak pesaingnya masih tetap laku nasi kita.”
Mereka memang penjual nasi di pasar karena Jono banyak lemburan di gudang akhirnya mereka berhenti berjualan nasi pecel.
***
“Apa masih jauh perjalananan kita? Aku capek jalan kaki. Aku juga lapar, Bu,” keluh Adit.
“Ibu juga capek, Dik. Apalagi membawa tas ransel. Kamu tinggal jalan kaki saja mengeluh terus. Tinggal saja Adit di sini, Bu!” Rudi memarahi adiknya.
“Huss, jangan bilang gitu sama adikmu. Nanti kalau ada warung di depan, kita berhenti untuk sarapan dan minum. Kita, kan, belum ketemu warung sama sekali sepanjang perjalanan ini.”
Rubina dan kedua anaknya melanjutkan perjalanan. Mereka berencana menemui Sunari untuk meminta bantuannya. Setelah mereka berjalan beberapa lama kemudian, terlihat Jono dan Lastri sedang menata warung nasi pecel. Hari ini mereka pertama kali membuka warung nasi pecel. Melihat ada warung di depannya, adit pun langsung berlari.
“Awas hati-hati, Dit!” teriak Rubina kepada anak bungsunya. “Rud, lekas susul adikmu, jangan beli yang macam-macam.” Dengan patuh Rudi menyusul Adit menuju warung.
“Mau beli apa, Nak?” tanya Lastri kepada mereka. Ketika Adit membuka mulutnya, Rudi menghentikan keinginan Adit untuk membeli es teh dengan nasihatnya.
“Jangan pesan dulu, tunggu Ibu datang.”
“Aku cuma ingin nasi saja masa nggak boleh. Aku, kan, lapar karena kemarin malam hanya makan separo bungkus nasi goreng. Memang Kak Rudi nggak haus dari tadi belum minum?”
Raut Lastri seketika berubah mendengar percakapan mereka. Hati Lastri berkata jika mereka adalah orang miskin yang akan meminta sedekah karena terlihat dari wajah kedua anak itu yang kusam dan baju yang lusuh.
Jono berniat memberikan es teh kepada mereka. Ia tak tega melihat mereka terengah-engah kehausan dengan keringat yang menandakan kelelahan.
“Mau kamu berikan kepada siapa minuman itu?” Lastri bertanya lirih kepada Jono.
“Kepada kedua anak itu, kasihan mereka sedang kehausan,” jawab Jono dengan lirih.
“Kita minum saja jarang pakai gula. Masa orang lain kita beri gula. Kasih saja air putih.”
Jono tidak mendengarkan omelan istrinya. Ia tetap memberikan dua gelas es teh kepada Rudi dan Adit. Adit langsung mengambil es teh yang diletakkan di depannya, tetapi tangan Rudi menghentikan niat Adit yang akan menyeruput es teh yang menggoda itu.
“Kami belum berniat memesan, Pak. Kami menunggu Ibu dulu,” kata Rudi.
“Tidak apa-apa, ini gratis karena kalian pelanggan pertama kami. Ini ibu kalian?” kata Jono.
“Terima kasih atas pemberiannya. Mohon maaf jika ada tingkah laku kedua anak saya yang kurang berkenan,” usai berkata, Rubina mengambil bangku untuk duduk.
“Saya pesan seporsi nasi pecel, Pak.”
“Baik Bu.” Jono pergi ke meja saji untuk menyampaikan pesanan kepada Lastri.
“Benar, kan, kataku mereka adalah orang yang tidak punya,” ujar Lastri.
“Sejak kapan ibu menjadi perhitungan begini. Kita masih beruntung, Bu. Lihatlah keadaan mereka, Bu. Sepertinya mereka sedang kesusahan. Kewajiban kita harus menolong orang yang kesusahan. Allah telah membantu kita lewat Pak Selo. Saatnya Allah membantu mereka lewat kita. Sedikit sedekah orang miskin yang ikhlas jauh lebih disukai Allah.”
Mendengar nasihat Jono, Rubina tersadar. Ia terdiam sejenak merenungi kebenaran perkataan Jono.
Ketika sepiring nasi datang, Adit langsung makan dengan lahapnya hingga tak terasa nasi di piring tinggal beberapa sendok.
“Dik, ibu belum makan sejak kemarin malam. Kemarin malam nasi goreng sudah kita habiskan. Masa hari ini kita habiskan juga nasi ini?”
“Ini bagian ibu, aku sudah kenyang,” kata Adit.
“Ibu minum teh saja. Nanti insyaallah di rumah Pak Sunari kita akan makan lagi.”
Rudi menyendok nasi kemudian ditawarkan kepada ibunya.
“Makanlah, Bu. Ibu harus tetap sehat untuk menjaga kita.”
Mendengar percakapan mereka, Jono dan Lastri semakin luruh.
***
Di sebuah ruang tamu mewah, Sunari menemui Rubina. Sunari adalah sahabat kecil sekaligus rekan bisnis Yatemin, suami Rubina.
“Saya sebenarnya merasa nggak enak mempekejakan ibu sebagai penjaga laundry. Bagaimana jika saya memberikan modal kepada Ibu untuk bisnis makanan atau lainnya?” tawar Sunari kepada Rubina.
“Tidak perlu, Pak. Saya masih trauma dengan utang, Pak. Sebab utang juga usaha kami bangkrut hingga membuat suami saya meninggal.”
Dulu keluarga Rubina adalah keluarga yang kaya. Karena tergiur mengembangkan usahanya, Yatemin utang ke berbagai perusahaan. Ternyata prediksi untuk membayar utang dari perputaran omzet perusahaannya meleset karena krisis 1998. Hingga akhirnya, semua aset yang dimiliki keluarganya disita.
“Baiklah, jika ibu menginginkan mandiri. Ibu boleh menempati ruko tempat ibu bekerja. Jika membutuhkan bantuan, sampaikan kepada kami,” kata istri Sunari.
“Insyaallah bantuan ini sudah lebih dari cukup. Terima kasih, Bu.”
***
Pagi waktu di sekolah, Rudi menyempatkan membaca sebuah koran yang ditempelkan di mading depan ruang perpustakaan. Di sana, terpampang sayembara penulisan cerpen nasional yang berhadiah beasiswa. Ia merasa tertarik untuk mencoba menulis cerpen tentang sepenggal kisah hidupnya. Waktu ia pulang, ia bercerita kepada ibunya tentang niat berkompetisi dalam penulisan cerpen.
“Bagaimana menurut ibu jika aku menuliskan kisah hidup kita setelah ditinggalkan ayah?”
“Tidak apa-apa. Tapi jangan kisahkan yang buruk-buruk tentang ayah atau orang lain. Tidak bagus mencerikan keburukan orang.”
“Insyaallah, Bu. Aku juga akan meminta bantuan Bu Mei, Guru Bahasa Indonesiaku.”
“Bagus itu, tapi jangan sampai merepotkan orang hanya untuk kepentinganmu.”
***
Kemarin, Rubina kecapekan karena mengurus laundry-nya sebab kemarin pelanggan yang berkunjung tidak seperti biasanya. Hingga pagi ini pun, ia masih melanjutkan menyetrika baju pelanggan yang belum terselesaikan. Akibatnya, ia tak sempat memasak.
“Ibu tidak masak hari ini?” tanya Rudi.
“Aku tidak sempat belanja. Bagaimana kalau kita beli nasi pecel di Warung Pak Jono?”
“Ayo Bu, lekas ke sana aku sudah lapar sekali,” celetuk Adit.
Rubina meletakan baju-baju yang berada di tangannya untuk pergi membeli sarapan. Di sepanjang perjalanan, mereka bercerita masa lalunya hingga sampai ke Warung Pak Jono.
“Assalamuailaikum, nasi pecelnya masih, Bu?”
“Waalaikumsalam, masih. Silakan duduk,” jawab Lastri. Lastri memandang wajah mereka. Wajah itu serasa ia kenal.
“Saya pesen nasi pecel satu es teh satu!” spontan Adit menjawab.
“Saya juga sama,” sahut Rudi.
“Saya teh hangat saja satu,” Rubina sengaja tidak makan karena ia ingin berhemat.
Lastri langsung teringat ketika mendengar suara khas mereka. Ingatan Lastri tentang mereka yang membeli sepiring nasi untuk dimakan bertiga beberapa bulan lalu. Tapi ada penampilan yang beda dari mereka bertiga. Mereka datang dengan wajah berseri dan seragam sekolah yang rapi.
“Baik, Bu. Ditunggu,” kata Lastri. Ia berjalan menuju dapur untuk menyajikan nasi pecel.
“Masih ingat ibu dan kedua anaknya yang dulu pernah pesan nasi pecel untuk dimakan bertiga. Mereka sepertinya datang ke mari lagi.”
“Bernarkah?” Jono mengintip Rubina dan anak-anaknya dari belakang warungnya. Ia pangling dengan kondisi mereka yang berbeda dengan ketika pertama kali datang.
“Mereka anak yatim, Pak. Ibu mereka bekerja di laundry milik Pak Sunari. Kapan hari, Bu Reni bercerita kepadaku,” kata Lastri.
Setelah tahu mereka pesan nasi pecel dua porsi, Lastri melebihkan porsi nasi yang mereka pesan. Ia sadar, bahwa memberikan sedekah kepada anak yatim memiliki keutamaan.
***
Beberapa hari, setelah keluarga Rubina membeli nasi pecel, Suratmin datang ke warung Jono.
“Pak Jon, warungmu masuk koran Bela Bangsa.”
“Kamu bercanda Min. Mana ada warung kayak gini masuk koran,” jawab Jono.
Ia menujukkan sebuah koran kepada Jono. Jari telunjuknya mengarah sebuah Judul Sepiring Nasi Pecel Pak Jono.
“Ini foto anak yang nulis cerita. Pasti ia penggemar nasi pecelmu. Ha-ha-ha…” kata Suratmin.
Jono membaca dengan saksama cerpen itu. Dilihatnya data diri dan foto penulis. Karena tahu penulisnya adalah Rudi, direbutnya koran itu dari tangan Suratmin dan ditunjukkan kepada Lastri. Mereka berdua terheran-heran bagaimana bisa warungnya menjadi inspirasi cerpen terbaik dalam kompetisi cerpen nasional.
Semenjak kisahnya termuat di koran Bela Bangsa, Warung Pak Jono menjadi buah bibir. Pembeli pun mulai antre. Ini bukan hanya karena Rudi mengenalkan Warung Pak Jono dalam cerpennya, tetapi juga karena kekhasan pecel racikan Lastri dan kebaikan hati Pak Jono dalam melayani pelanggannya.