LUPA WARNA
kepala puisiku hitam
hatinya biru
tangannya ungu
wajahnya kuning
kakinya hijau
jantungnya abu
tapi semenjak gedung-gedung ditancapkan
dan pepohonan disingkirkan
ia kehilangan spidol
di dalam dirinya
Wonokromo, 7 Januari 2022.
DUA AKU DALAM DIRIKU
aku melihat gulungan ombak mendebur
di sekujur tubuhmu
gerombolan ikan sewarna-warni lampu LED
kepompong merambat pelan
mengintip canggung
tetapi seperti anomali
daun-daun rontok dari alismu
kaok sepasang gagak dan rumah kosong berdebu
kau basah sekaligus kerontang?
Kita selalu berhenti di sebuah persimpangan
bingung mencari penutup kalimat yang akurat:
tanda tanya atau koma
sebab titik selalu lebih rumit dari keduanya
sepasang mata kita bersaksi dunia begitu luas
tapi kita tak pernah kemana-mana
Jangan membisu, kekasih
beritahu mengapa aku bersedia menanggung asin
menyalin warna biru
dan sengaja menyelami kedalamannya?
biota rasa di dadaku tak punya gentar
berkecipak girang
seberapa banyak kesia-siaan berserakan di sepanjang jalan?
carilah jawaban itu, kekasih
bertanyalah pada musim yang meranggas di bibirku
mau kemana kita?
Wonokromo, 4 Januari 2022.
SIAPA YANG DITUNGGU WAKTU
pagi tidak kemana-mana
hari masih selembar kertas
yang akan hangus
disengat matahari
air keruh di tubuh
mendidih lagi
bulan terbang tanpa tali
seperti layangan putus
dan berbisik lirih sekali
sambil menulis gerimis
garis-garis tipis
sementara balon terus mengeras di kepala
banyak kabel kusut
berbelit-belit di sana
sesal selalu seberat
langkah kaki seorang pendosa
(tapi waktu tetap tak pernah menunggu siapa-siapa)