Foto: Gus Dur dan Mahatma Gandhi

Sudut Pandang Gus Dur tentang Islam

79 views

Hakikat Islam adalah ketundukan dan kepatuhan hamba kepada Tuhan Yang Maha Esa disertai dengan penyerahan diri secara totalitas tanpa reserve. Sikap ini, sebagai manifestasi dari hati nurani yang paling dalam tanpa adanya paksaan, agitasi maupun intimidasi, bahwa sebagai makhluk Tuhan akan senantiasa mengikuti segala hukum dan ketetapan-Nya.

Karena itu, memeluk agama Islam bagi Abdurrahman Wahid alias Gus Dur berarti ber-Islam, dan bukan memutlakkan Islam sebagai satu-satunya nama agama. Karena, semua agama ditentukan oleh keikhlasan dan kesungguhan pemeluknya.

Advertisements

Dalam pengamatan KH Said Aqiel Siradj, tidak mustahil orang yang dalam pengakuannya secara formal sebagai pemeluk agama Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, Konhuchu ataupun lainnya, namun hakikatnya dia itu ber-Islam. Allah tidak menuntut manusia untuk memeluk Islam secara formalitas, mengikrarkan syahadat tetapi hatinya justru bertolak belakang. Karenanya simbol-simbol seperti sorban, jubah, peci, kubah, bukanlah standar Islam, esensinya hanya sekadar syiar dan selebihnya rapuh bagaikan buih.

Bagi Gus Dur, Islam adalah agama kasih sayang, agama toleran, agama keadilan dan sekaligus agama kejujuran. Artinya, Islam adalah keyakinan yang egaliter, yang secara fundamental tidak mendukung perlakuan zalim karena alasan agama, suku, ras, gender, status sosial atau pengelompokan-pengelompokan lainnya dalam masyarakat. Bagi Gus Dur, Islam adalah keimanan yang mengakui bahwa dalam pandangan Tuhan, semua manusia adalah setara, bahkan status muslim dan nonmuslim pun setara.

Pandangan Gus Dur tentang Islam tersebut oleh Greg Barton, penulis biografi Gus Dur, disejajarkan dengan prinsip dasar Eropa Kristen dan Yahudi di abad Pencerahan. Gus Dur menghayati Islam sebagai agama yang menuntut sikap toleran dan besar hati terhadap agama lain.

Dari pernyataan tersebut seakan-akan Gus Dur ingin menyatakan bahwa seluruh agama, sungguhpun secara formalitas peribadatan memiliki perbedaan, pada hakikatnya hanya ingin membentuk sosok al-insan al-kamil (manusia paripurna) yang memiliki akhlaq alkarimah (moralitas). Meski demikian, perbedaan eksoterik dalam realitas sehari-hari justru sering ditonjolkan dan dibesar-besarkan, sementara elemen esoterik agama, semisal penegakan supermasi hukum, sikap jujur, kebebasan berekspresi, dan lainnya, justru dimanipulasi dan dinafikan.

Penonjolan sisi eksoterik tersebut, selain tidak akan menyentuh nilai-nilai agama yang sesungguhnya, juga akan mengobarkan sikap antipati antarpemeluk agama. Penonjolan legal-formal agama akan membawa imbas pada pensakralan dan politisasi superioritas masing-masing agama, sehingga fanatisme pemeluknya akan menjadi membara.

Tragedi Perang Salib merupakan salah satu contoh politisasi yang memakai label agama “Islam-Kristen”. Ketegangan tersebut tidak hanya sebatas relasi antarpemeluk agama, hubungan intern pemeluknya pun semakin terbius dengan perbedaan-perbedan legal-formal yang subjektif. Di tubuh umat Islam, insiden al-Fitnah al-Kubra yang meletus empat dasawarsa sepeninggal Nabi Muhammad saw merupakan contoh konkret formalisasi politik aliran dalam intern agama.

Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, agama-agama begitu juga dengan Islam, merupakan kesadaran individu dan urusan pribadi. Oleh karena itu, tidak perlu diformalkan. Gus Dur sangat menentang kelembagaan agama apa pun, begitu juga dengan Islam. Menurutnya, apabila agama diformalkan akan berakibat eksklusif, tidak toleran, dan tidak adil kepada mereka yang berlainan paham, terutama kepada umat yang tidak seagama.

Dia menjelaskan: Sejarah telah memberikan pelajaran kepada kita tentang kelembagaan agama. Betapa hebatnya sebuah agama sekalipun, pendiriannya tidaklah mengajarkan orang untuk mencintai kelembagaan apa pun. Yang disampaikan adalah kebenaran, yang dalam Islam berupa tauhid (ajaran tentang keesaan Tuhan dan keutusan Muhammad SAW). Atas dasar itu, segala macam institusi yang mengatasnamakan Islam sebenarnya hanya bersifat perkiraan (ijtihadi) belaka.

Kelembagaan agama, khusus dalam kasus Islam, akan mempersempit peran Islam itu sendiri dan begitu juga dengan kaum Muslim. Padahal kaum Muslim menyakini dengan benar bahwa Islam itu adalah rahmatan li al-alamin, sebagai rahmat bagi semesta. Karena itu, Islam seharusnya dimasukkan ke berbagai macam aspek kehidupan, tidak harus dilembagakan. Pelembagaan itu sendiri berarti membatasi diri, dan ini akan merugikan Islam dan kaum Muslim. Selain itu, kelembagaan tersebut akan menafikan kelompok lain di luar mereka yang tidak sepaham, padahal Islam dan kaum Muslim tidak pernah dibatasi oleh kelembagaan tersebut.

Karena itu, Gus Dur tetap menganggap seorang itu Muslim walau dia tidak melaksanakan ajarannya, seperti salat, zakat, atau puasa. Gus Dur tidak menafikan keislaman yang hanya pengakuan atau kepercayaan atau keyakinan terhadap keesaan Tuhan dan kerasulan Muhammad, tanpa diiringi dengan pelaksanaan terhadap syariat Islam. Baginya, orang itu tetap sebagai seorang muslim.

Di sini, terlihat jelas betapa Gus Dur ingin menjadikan Islam tidak hanya milik bagi mereka yang secara formalitas mengerjakan amalan-amalan Islam, tetapi juga bagi mereka yang mengakui Islam sebagai keyakinannya, walaupun belum melaksanakan amalan-amalannya.

Bila dilihat secara teologi, pandangan Gus Dur tersebut mengikiuti konsepsi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, sebagaimana juga dalam NU. Dalam pandangan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, dijelaskan bahwa keyakinan adalah tashdiqun bi al-qalb, pembenaran dengan hati. Keimanan seorang, dalam pandangannya selalu berproses, karena itu jangan cepat mengambil simpulan apalagi mengkafirkannya. Dalam proses itulah orang akan mencapai kebenaran yang dicarinya, baik itu yang secara formal beragama Islam maupun bukan.

Pemikiran Gus Dur tentang Islam sebagai agama proses, dapat ditelusuri konsepsinya pada seorang tokoh intelektual Muslim asal Sudan, Mahmoud Taha. Dalam pandangannya, Islam adalah suatu proses intelektual di mana seorang hamba berproses dalam penghambaannya di suatu jenjang yang terdiri dari tujuh tahapan, yaitu: al-islam, al-iman, al-ihsan, ilm al-yaqin, ilm ain alyaqin, ilm haqq al-yaqin, dan al-islam.

Islam pada tahap awal, hanyalah kepatuhan eksternal yang berurusan dengan ucapan dan tindakan. Sedangkan, Islam pada tahap akhir merupakan kepatuhan eksternal dan internal (sejati) sekaligus, dan merupakan penyerahan dan kepatuhan intelegensia (dengan pengetahuan), serta penerimaan atas Allah baik secara pribadi maupun umum. Islam yang dimaksudkan Gus Dur di sini, adalah Islam pada tahap akhir. Islam pada tahap akhir inilah yang menjadi keyakinan Gus Dur, dan karena itulah dia memaknainya sebagai keyakinan yang menebar kasih sayang, toleran, dan menghargai perbedaan.

Bagi Abdurrahman Wahid, Islam adalah keimanan yang mengakui bahwa dalam pendangan Tuhan semua manusia adalah setara, baik muslim maupun nonmuslim. Gus Dur menjelaskan: “Saya menganggap semua agama ditentukan oleh keikhlasan dan kesungguhan pemeluknya. Itulah yang saya minta untuk dihormati, bukan penafian satu sama lain.”

Kendati pandangan Gus Dur tersebut dipandang liberal oleh sebagian kaum Muslim, namun dia tetap menuntut agar kaum Muslim tetap melaksanakan syariat Islam (hukum Islam) sebagai konsekuensi kepatuhan dan ketundukannya kepada Tuhan. Namun dia mengingatkan, bahwa Islam jangan hanya dijadikan sebagai seremonial keagamaan belaka, justru kaum Muslim harus menegakkan syariat Islam secara fungsional.

Lebih jauh lagi dia menegaskan, bahwa pelaksanaan syariat Islam tersebut, harus melihat stuasi dan kondisi. Dalam kehidupan berbangsa dan negara umpamanya, kaum Muslim cukup melaksanakan partikel dari syariat Islam yang dapat diterima oleh semua pihak, sedangkan selebihnya dijadikan etika bagi masyarakat Muslim.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Gus Dur meletakkan Islam dengan cara mencari subtansi ajaran, dan bukan institusinya. Inilah yang kemudian pertama-tama bisa menjadi inti sekaligus menjadi jembatan untuk melihat di antara perbedaan semua pandangan agama, baik Muslim maupun non-Muslim.

Gus Dur melihat bahwa Islam di Indonesia baru pada tataran aspek seremonial, belum pada aspek fungsional, yang merupakan inti dari ajaran Islam. Gerakan-gerakan Islam, yang katanya memperjuangkan kepentingan Islam melalui negara, kebanyakan hanyalah memperjuangkan kepentingan politik atau ideologi yang mereka miliki sendiri. Kepentingan Islam justru akhirnya tertutupi oleh kepentingan sendiri.

Sedangkan, corak fungsional yang diperjuangkan oleh gerakan hak asasi manusia dan corak hukum yang diingini, ternyata diperjuangkan oleh mereka yang tidak menggunakan wawasan agama, paling tidak formalitas hukum Islam, formalitas keadilan, dan formalitas demokrasi, yang semuanya merupakan perwujudan hak-hak asasi manusia yang bersederajat dan berkedudukan sama. Akan tetapi, inilah yang tidak berarti hingga saat ini, karena gerakan Islam pada umumnya baru tersentuh oleh aspek ornamental belaka dari pelaksanaan agama samawi.

Menurut Gus Dur, yang harus diambil adalah pendapat kedua, karena pendapat pertama berarti formalisasi agama dalam kehidupan bernegara. Karena itu, Gus Dur menjelaskan, bukankan lebih praktis memperjuangkan Islam melalui hak asasi manusia dan persamaan kedudukan seluruh warga negara, daripada menjelaskan sebaliknya? Demikian pula, bukankah pemerintahan despot dan tiran yang dikutuk oleh hak asasi manusia dan demokrasi, juga ditolak oleh hukum Islam.

Islam, sebagai agama yang sempurna sebagaimana dijelaskan oleh QS al-Ma’idah (5): 3, diyakini benar kebenarannya oleh Abdurrahman Wahid. Akan tetapi, konsepsi kesempurnaan tesebut agak berbeda dengan tokoh-tokoh intelektual muslim lainnya.

Dalam pandangan Gus Dur, “Secara prinsip Islam sudah sempurna. Ketika dijabarkan secara operasional ia harus merambah lagi.” Kesempurnaan Islam terletak pada potensinya untuk menampung masukan-masukan secara kontinuitas (terus menerus) sebagai bagian dari proses penghadapan Islam pada tuntutan zaman. Maknanya, kesempurnaan Islam terletak pada keterbukaan terhadap pengembangan wawasan baru secara terus menerus dalam menggandeng zaman yang selalu berkembang. Tentu saja hal ini didorong dari dan oleh Al-Quran dan Sunnah Rasul saw itu sendiri.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan