SURAT BUAT IBU
Ibu, jika kau rindu anakmu, lupakanlah selalu. Sebab ia cuma akan terus mengganggumu seperti kanak-kanaknya dulu
Aku berada jauh sebab tak ingin hidupmu gaduh. Aku berada jauh bukan sebab tak hendak patuh. Aku berada jauh untuk belajar bisa bersimpuh. Tanpa harus mengaduh. Tanpa harus melengos dan berkata, “Uh!”
Dari suatu jarak, Ibu, sering kau terlihat bagai sepotong sajak. Terbayang bagaimana kau mencak-mencak dengan tangan berkacak ketika sebagai kanak-kanak, kuarak butir-butir nasi yang tak tanak di semak-semak. “Kau bukan anak kuntilanak!”
Dari seribu mimpi, Ibu, sering kau terlihat bagai sebaris puisi. Terbayang bagaimana kau mengajariku menggambar ilusi, berhari-hari, dengan sekaleng susu sekerat roti, dengan buai senyum yang tak pernah basi. “Kau boleh bermimpi, sebab bukan anak memedi!”
Dari balik sebuah bilik, Ibu, sering kau terlihat bagai sinar terik. Terbayang bagaimana kau mendidik menampik hidup yang tengik, dengan pekik yang tajam menukik, dengan tempik yang membuatku bergidik. “Jangan mendelik, kau bukan anak gundik!”
Dari balik sebuah tirai, Ibu, sering kau terlihat bagai bidadari. Terbayang bagaimana kemudian kau menjadi ilusi, titik tuju mimpi setiap lelaki, dari hidup yang tak terperi, juga hidup yang telah jadi bangkai. “Dasar kau binatang pemimpi!”
Ibu, jika merindukanmu, akan kulupakan selalu. Sebab akulah kanak-kanak abadi itu.
LALU WAKTU BEKU
Lalu waktu
beku di rerimbunan batu
yang setia menunggu
Setelah dzikir mengalir
hanyut dibawa air
sampai ke kali hilir
Lalu batu
beku di rerimbunan waktu
yang setia merindu
Setelah mantra berdengung
menuruni kaki gunung
sampai halimun menudung
Lalu aku
waktu yang beku
di rerimbunan rindu
Setelah lirih gending
menuruni tebing-tebing
sampai ke dasar hening