Pada umumnya, seorang muslim tidak bisa dipisahkan pada aktivitas membaca al-Quran. Signifikansi al-Quran pada umat Islam membuatnya selalu dibaca baik secara teks grafis yang ada maupun dalam artian pembacaan yang lebih luas. Mengingat, al-Quran sebagaimana hakikat fungsionalnya, yakni sebagai manhaj al-hayat, menjadikannya sahabat dalam setiap urusan-urusan kehidupan manusia, khususnya umat Islam.
Membaca al-Quran secara sharih banyak disebutkan dalam berbagai titah, baik pada ayat maupun hadits nabawi. Sebut saja dalam QS. al-Ankabut (29) ayat ke-45 yang berbunyi,
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ…
Artinya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Quran) dan dirikanlah shalat…”
Dan pada hadits riwayat Baihaqi dalam kitabnya Syu’ab al-Iman (III/ 395) no. 1865 yang berbunyi,
…عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفْضَلُ عِبَادَةِ أُمَّتِي قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
Artinya: …dari Nu’man bin Basyir (bahwa ia berkata), Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baiknya ibadah umatku adalah membaca al-Quran”
Akan tetapi, nyatanya respons bacaan umat Islam dalam membaca al-Quran sangat variatif, seperti pada perspektif teks pada dua dalil tersebut. Pada QS al-Ankabut (29) ayat ke-45, digunakan kata اتْلُ yang mana berasal dari kata تَلاَ- يَتْلُو – تِلاَوَةً, selanjutnya kita lebih mengenal dengan tilawah. Pada hadits riwayat Baihaqi, digunakan kata قِرَاءَةُ yang asal katanya adalah قرأ-يقرأ-قرأة, yang mana kita sering mengenal dengan qiraah. Kedua redaksi tersebut sederhananya mempunyai arti yang sama, yakni membaca.