Sebelum Nyai Atiqoh menawarkan ajakan yang menggoda, saya belum pernah kepikiran jejaring duniasantri akan mengadakan kegiatan di Tebuireng.
Saat itu, akhir Mei 2025, kami baru rehat dari kegiatan yang menguras tenaga di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Dan, saya sudah bersiap untuk pura-pura lupa, bahwa tak lama lagi bulan Agustus tiba, yang artinya duniasantri harus merayakan ulang tahunnya. Dalam hati, tak merayakan hari ulang tahun juga tak apa-apa.

Saat itulah, melalui pesen pendek, Nyai Atiqoh menawarkan ajakan yang menggoda itu: bagaimana kalau ulang tahun ke-6 jejaring duniasantri diadakan di Pesantren Tebuireng?
“Serius?” Hanya sependek itu respons saya. Saya cukup dingin menanggapi ajakan itu karena dua alasan. Pertama, Nyai Atiqoh sendiri, sebagai sekretaris duniasantri, sudah sekitar tiga tahun absen karena kesibukannya sebagai seorang ibu muda dan dosen. Kedua, sejarah dan nama besar Tebuireng yang membuat saya gemetar.
Rupanya ajakan serupa juga disampaikan ke Bro Daniel, orang yang paling tekun merawat duniasantri. Ketika kami bertiga akhirnya berkomunikasi, ada dua syarat yang saya ajukan untuk menerima tawaran Nyai Atiqoh itu. Pertama, Nyai Atiqoh yang bertanggung jawab melaksanakannya. Kedua, Pesantren Tebuireng memberi izin dan restu.
“Ok, saya siap sekarang. Saya mau aktif lagi.” Itulah jawaban Nyai Atiqoh, yang berarti salah satu syarat terpenuhi. Nyai Atiqoh kemudian membangun komunikasi dengan Tebuireng. Alhamdulillah, Tebuireng memberi izin. Maka, awal Juni 2025 kami meluncur ke Jombang, sowan ke sesepuh Tebuireng, KH Riza Yusuf Hasyim alias Gus Riza.
Gus Riza, cucu Mbah Hasyim, menerima kami dengan tangan terbuka. Merestui rencana kegiatan duniasantri di Tebuireng. Kami disarankan untuk bekerja sama dengan Media Group Tebuireng.
Sepulang dari kunjungan ini dibentuklah panitia bersama. Nyai Atiqoh sebagai ketua, didampingi Mbak Rara, perwakilan Media Group Tebuireng, sebagai sekretaris. Sejak itu, hampir tiap hari kami, tim duniasantri dan Media Group Tebuireng, melakukan komunikasi dan koordinasi jarak jauh.
Bola Salju

Sedari awal, perayaan ultah ke-6 duniasantri dirancang sederhana. Cuma potong tumpeng dan workshop penulisan, seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi dalam prosesnya ia seperti bola salju, yang terus menggelinding dan mengembang, yang membuat kami terkaget-kaget sendiri: loh… wah… loh… wah...
Kebetulan, Kang Zastrouw baru menyelesaikan penulisan buku yang belum launching, Menggali Api Pancasila. Kang Zastrouw setuju launching buku itu jadi bagian dari perayaan ulang tahun duniasantri.
Tapi, ketika saya dan sastrawan Mahwi Air Tawar sedang ngobrol ngalur ngidul dengan Kang Zastrouw, muncul celetukannya yang membuat saya kaget.
“Bagaimana kalau kita wayangan di Tebuireng, nanggap wayang santri?”
“Lah, tenan ta iki...” Saya dan Mahwi saling menoleh. Selain belum terbayang soal wayangan di pesantren, belum terbayang juga duitnya untuk nanggap wayang yang terbilang mahal itu dari mana.
“Nanti dananya kita cari,” kata Kang Zastrouw mencoba meyakinkan. Saya akhirnya intens berkomunikasi dengan Ki Haryo Entus, dalang wayang santri. Perlu negosiasi yang ulet terkait teknis dan biayanya. Ketika akhirnya Ki Haryo Entus bilang “Nggih, saya berangkat” pada tanggal yang disepakati, saya lega luar biasa.
Tak berhenti di situ. Rencana tumpengan dan launching buku dengan cara sederhana malah berkembang menjadi sarasehan tentang Pancasila. Dalam skenario awal, sarasehan hanya akan mengundang 1-2 narasumber dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Yang sudah pasti adalah Dr Irene Camelyn Sinaga (Direktur Pengkajian Implementasi Pembinaan Ideologi Pancasila BPIP). Rupanya, rencana ini “ketahuan” Kepala BPIP KH Yudian Wahyudi, yang lalu siap datang ke Tebuireng.
Akhirnya, yang paling banyak menyita waktu dan konsentrasi adalah bagaimana menyiapkan penyambutan seorang pejabat negara setingkat menteri, hal baru bagi jejaring duniasantri. Beruntung di sana ada Bu Irene, lalu Pak Abed, yang membuka diri 24 jam untuk komunikasi dan koordinasi.
“Kalau ada kendala, kabari saya, Pak,” pesan Bu Irene. Adem rasanya.
Tapi tentu saja situasi di lapangan yang dikomandani Mbak Rara tak seadem pesan Bu Irene. Malah penuh ketegangan disebabkan oleh dua hal.
Pertama, Kepala BPIP hanya bisa hadir di tanggal 23 Agustus. Padahal, sedari awal, rangkaian kegiatan hanya akan berlangsung tiga hari, 20-22 Agustus. Artinya, harus dirancang ulang menjadi empat hari. Ini berdampak serius bagi panitia pelaksana di lapangan.
Kedua, seluruh rangkaian acara sarasehan harus memenuhi standar protokol pejabat setingkat menteri. Karena itu, nantinya, tim Tebuireng harus bekerja ekstra keras dari pagi sampai pagi lagi agar tata panggungnya, tata kursinya, bagaimana pengaturan acaranya, dan semua detail lainnya susuai dengan standar protokoler.
Wayang Mbah Hasyim

Ketika bola salju itu mulai menggelinding dan membesar, saya justru mulai gelisah. Suara hati iya ta, iya ta… terus menghantui. Keyakinan saya bahwa seluruh rangkaian acara akan berjalan mulus, belum seratus persen.
“Ini beda, Bro. Ini Tebuireng, Bro. Taruhannya terlalu besar.”
Kegalauan dan kegelisahan itu saya tumpahkan ke Bro Daniel. Seperti krenthek hati saya, Bro Daniel menyarankan saya ke Tebuireng lagi. Benar, pertengahan Juli, untuk kedua kalinya saya ke Tebuireng. Kali ini sendirian.
Setelah sowan ke ndalem Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Abdul Hakim Mahfudz, malam Jumat itu saya berdiam diri di seberang pusara KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdurrahman Wahid, hingga larut. Sepulang dari Tebuireng itu, saya merasa terus dibersamai Mbah Hasyim. Sejak itu, saya yakin, insyaallah seluruh rangkaian kegiatan akan berjalan mulus.
Dan benar saja, satu demi satu masalah teratasi, termasuk soal pendanaan dari sponsor. Dan, dua acara yang paling vital, yaitu panggung seni dan wayang santri serta sarasehan, bahkan berlangsung di atas ekspektasi.
Khusus wayang santri, ending-nya di luar dugaan. Rencananya, Surat untuk Mbah Hasyim yang ditulis Mahwi Air Tawar akan dibacakan di tengah pergantian plot. Entah kenapa, Ki Dalang Haryo Entus mengubahnya di akhir cerita. Dan ketika Mahwi selesai membacanya, tiba-tiba Ki Dalang memunculkan wayang Mbah Hasyim.
“Mbah Hasyim ikut hadir…,” ujar Ki Dalang. Dan, wayang Mbah Hasyim itu akhirnya dihadiahkan untuk jejaring duniasantri, yang secara simbolis diterima oleh Kang Zastrouw.
“Padahal duniasantri tak punya kantor, mau ditaruh di mana wayang Mbah Hasyim itu,” kata Mahwi setengah berbisik, setengah berdoa.
Main Gaple

Sarasehan, yang berlangsung Sabtu, 23 Agustus sebagai penutup, tak kalah wah. Kepala BPIP KH Yudian Wahyudi benar-benar hadir. Bahkan, Kiai Yudian mengawali kegiatannya di Tebuireng dengan ziarah dan tabur bunga ke makam Mbah Hasyim, KH Wahid Hasyim, Gus Dur, dan para Masyayikh Tebuireng. Sarasehan tentang Pancasila juga berlangsung gayeng. Ratusan santri masih memenuhi aula Gedung KH Yusuf Hasyim sampai sarasehan benar-benar berakhir.
Tunai sudah, seluruh rangkaian kegiatan berkat kekompakan dan kerja keras tim Tebuireng. Teman-teman jejaring duniasantri sudah mulai meninggalkan Tebuireng, kecuali saya. Saya ingin menunggu sampai piring-piring usai pesta dicuci bersih.
Di sela-sela panitia beres-beres itulah, Mbak Rara membisiki saya. “Pak, di Wonosalam udaranya sejuk dan banyak durian.” Iming-iming itu membuat saya manut. Minggu sore, saya ikut tim Mbak Rara naik ke Wonosalam. Mereka adalah Mas Bagus, Mbak Albi, Mbak Ifa, dan Mbak Elvi.
Tapi saat tiba di Wonosalam, durian-durian itu bak raib di telan bumi. Kami hanya disambut keheningan dan udara dingin. Kami akhirnya meriung di sebuah kafe angkringan di pinggir kali.
Entah kebetulan atau memang telah dirancang, sembari menunggu hidangan, tim Mbak Rara ini mengeluarkan kartu domino. Dan kami pun bermain gaple. Ditingkah gemericik air kali, ketepak-ketepok suara kartu yang berjatuhan terasa seperti kami sedang melempar ketegangan, juga kelelahan. Di antara lemparan-lemparan kartu itu, kami saling melempar ledekan, candaan, juga derai tawa. Wajah-wajah kami, yang tegang dan kusut selama empat hari, kini menjadi sesegar udara Wonosalam.
Entah disengaja atau tidak. Mungkin itulah salah satu cara Tebuireng membuat setiap tamu tersenyum. Pulang membawa senyum, seperti ketika datang. Bahkan keesokan harinya, setelah jauh meninggalkan Tebuireng dengan kereta, saya masih menerima pesan pendek dari tim Mbak Rara: main gaple itu ternyata direkam, yang videonya saya tonton sambil tersenyum sepanjang perjalanan pulang.
Beribu ucapan terima kasih rasanya tak cukup bisa mewakili perasaan kami terhadap apa yang telah disuguhkan Tebuireng…