Inilah hari penghakiman itu.
Dan lelaki itu adalah orang yang paling ketakutan untuk dibangkitkan menuju hari penghakiman. Sebab, sebagai pendosa, ia sadar bahwa bekalnya menuju hari penghakiman itu hanyalah dosa-dosanya. Ia tak pernah ingat ada satu pun kebaikan yang pernah dilakukannya. Yang memenuhi ingatannya hanyalah dosa-dosanya. Tapi ia juga merasa tak akan sanggup menghadapi siksa neraka.
Itulah yang menjadikannya sebagai orang paling ketakutan ketika hari penghakiman itu dimulai. Ia tak segera bangkit dan beranjak dari tanah kuburnya menuju Padang Mahsyar. Ia hanya bisa menggigil ketakutan dalam impitan kesendiriannya. Padahal terompet Israfil sudah menggema ke seluruh penjuru dunia.
Oleh gema sangkakala yang ditiup Israfil, semua orang, tanpa kecuali, segera terbangun dari alam kuburnya. Mereka bangkit, beranjak, dan berduyun-duyun memenuhi Padang Mahsyar, sebuah hamparan yang maha luas tiada bertepi. Ya, hanya hamparan, tak ada benda lain selain itu. Di atas hamparan maha luas itu, tudung langit diturunkan begitu rendahnya, hingga Matahari tinggal sepenggalah jaraknya.
Di hamparan maha luas itulah seluruh umat manusia dikumpulkan sebelum menjalani penghakiman. Dari sana mereka akan tergiring berjalan ke dua arah: ke surga atau ke neraka. Sesungguhnya, berkumpul di Padang Mahsyar itu juga bagian dari penghakiman itu sendiri. Sebab, dengan tanpa alas kaki dan sehelai benang pun yang menutup badan, tubuh siapa yang mampu terhindar dari panggang Matahari. Dan di sana tak ada yang bisa menjadi pelindung kecuali amal kebaikan.
Itulah pemandangan yang begitu mengerikan. Meskipun manusia berkumpul di satu hamparan, di antara mereka tidak ada satu pun yang bisa saling melindungi atau memberi pertolongan. Masing-masing sibuk dengan nasib sendiri. Bahkan, sekadar menoleh untuk melihat kebugilan orang-orang di sekitar pun tak bisa dilakukan. Semua terpanggang Matahari. Tenggorokan terbakar. Tubuh-tubuh gosong terkelupas. Kaki-kaki melepuh. Hanya orang-orang terpilih karena amal kebaikan dan kebeningan hati yang terlindung dari panggang Matahari itu.
Setelah terdengar raungan terakhir terompet Israfil, barulah lelaki itu bangkit dari tidur panjangnya, masih dengan gigil dan ketakutan yang sangat. Namun, begitu sampai di hamparan Padang Mahsyar, lelaki itu justru bingung. Ia memeriksa dengan gemati seluruh anggota tubuhnya yang telanjang itu. Dirabanya kepala, wajah, leher, lengan, perut, hingga kakinya sembari mengingat-ingat seluruh dosa-dosanya di masa lalu. Karena tak yakin, berulang-ulang ia merabai sekujur tubuhnya. Ia benar-benar tak percaya, tubuhnya tak merasakan sengatan panas Matahari yang hanya sepenggalah di atas kepalanya —seperti cerita yang dulu pernah ia dengar dari guru ngaji di seberang rumahnya.
Dengan tubuh yang gemetar, ia memberanikan diri mendongakkan kepala ke atas, menatap langit yang begitu rendah. Ia kaget, dan takjub, tatkala melihat ada sebuah benda asing di Padang Mahsyar itu. Ia menganggapnya sebagai mukjizat.
Setelah ditatap begitu lama, ia baru sadar bahwa benda yang menudung tubuhnya dari sengatan Matahari itu adalah sebuah topi. Dan samar-samar ia juga mulai teringat pernah mengenali topi itu di masa lalu yang begitu jauh. Entah di mana.
***
Pemakaman Mahsa akhirnya dilakukan sesuai permintaannya: kelak, ketika ia meninggal, satu-satunya benda yang diminta untuk dikuburkan bersama jenazahnya adalah topi kesayangannya. Itulah topi yang menentukan jalan hidup Mahsa.
Saat itu Mahsa adalah gadis cilik berusia lima tahun. Di hari ulang tahunnya yang kelima itu, untuk kali pertama Mahsa memperoleh kado dari orangtuanya. Dan baru pada ulang tahun kelima anak tunggalnya itu, orangtua Mahsa memiliki sedikit sisa uang untuk membeli kado. Sepulang dari bekerja, ayah Mahsa mampir ke sebuah toko dan membeli sebuah topi seharga dua puluh lima ribu rupiah.
Mahsa girang bukan kepalang ketika menerima kado dan ucapan selamat ulang tahun dari orangtuanya. Mahsa langsung mengenakan topi bundar berwarna pink itu, dan beraksi di depan cermin.
“Betapa cantiknya aku dengan topi ini,” kata Mahsa mengumbar senyum, langsung menghambur memeluki kedua orangtuanya.
“Kita jalan-jalan untuk merayakannya,” pinta Mahsa.
Sore itu, Mahsa diajak jalan-jalan oleh ayah dan ibunya dengan mengendarai sepeda motor. Sekadar jalan-jalan tanpa tujuan. Tapi Mahsa begitu bungahnya sepanjang perjalanan, seraya memamerkan kecantikan dengan topi barunya kepada dunia.
Namun naas, saat berada di jalan yang lumayan ramai di kawasan Ciganjur tak jauh dari Rumah Gus Dur, topi Mahsa terbang diterpa angin kencang dan jatuh di tengah jalan.
“Ayaaah, topiku jatuh!” Mahsa menjerit. Seketika sang ayah menghentikan motornya di tepi jalan. Sang ibu langsung turun dari sadel motor untuk mengambil topi anaknya. Mahsa menoleh ke belakang, memandangi topinya dengan cemas. Saat itu ada sebuah mobil yang meluncur deras, dan Mahsa langsung was-was kalau-kalau mobil itu melindas topinya. Mata Mahsa langsung melotot, bibirnya terkatup bergetar, kedua tangannya saling meremas.
Sadar di depannya ada sebuah topi anak-anak tergeletak, lelaki yang mengendarai mobil itu dengan refleks menginjak pedal rem dan membanting stirnya ke kanan. Ada suara mendecit dari gesekan ban ke aspal jalan. Ada teriakan dari pengendara lain yang nyaris bersenggolan. Topi itu selamat, terhindar dari lindasan ban.
Ketika ibunya memungut topi itu dari tengah jalan, Mahsa membalas tatapan lelaki yang mulai mulajukan mobilnya itu dengan senyum yang mengembang. Matanya berbinar-binar. Ia tertegun memandangi mobil lelaki itu hingga melaju di kejauhan.
Sesampai di rumah, Mahsa menciumi topinya. “Topiku selamat, Ibu. Mulia sekali hati lelaki itu. Mungkin ia tak ingin aku sakit hati karena topi kesayanganku dilindas. Kita belum sempat berterima kasih, ia sudah pergi,” kata Mahsa pada ibunya.
“Tirulah kemuliaan hatinya. Itu cara terbaik berterima kasih,” sahut ibunya.
Mahsa mendekap topi itu di dadanya, begitu eratnya dekapan itu, berasa sampai ke ulut hati. “Mati pun rasanya aku tak ingin berpisah dari topi ini, Bu…”
“Husss, masih bocah jangan bercanda begitu,” sahut sang ibu sambil mencolek hidung mancung putrinya.
Tapi sejak saat itu, hingga Mahsa dewasa, topi itu tak pernah berpisah atau berada jauh darinya. Ketika topi itu sudah tak muat lagi di kepalanya, Mahsa akan menyimpannya di dalam tasnya ketika sedang bepergian. Atau menyimpannya di tempat istimewa di dalam kamarnya ketika ia berada di rumah. Mahsa terlihat begitu mencintai topi itu, dan memperlakukannya seperti benda pusaka.
Tapi apa yang terjadi sesungguhnya lebih dari itu. Bagi Mahsa, topi itu ternyata selalu menjadi pengingat dan pendorong dirinya untuk tidak menyakiti hati orang lain dengan cara apa pun, atau menyakiti benda-benda lain dengan cara apa pun, sebagaimana lelaki itu menghindarkan mobilnya agar tak melindas topinya. Dari sana akhirnya Mahsa tumbuh menjadi sosok perempuan yang selalu menyebarkan kebaikan, menebarkan kasih sayang, kepada siapa pun, pada apa pun. Mahsa sering terlihat menemani orang-orang yang dilanda kesedihan, atau berjuang untuk membela orang-orang yang bernasib buruk. Mahsa telah menjadi sosok yang begitu humanis. Orang-orang bilang ia adalah aktifis pejuang kemanusiaan, terutama untuk anak-anak yang kurang beruntung. Ketika menemani anak-anak yang kurang beruntung itu, ia sering terlihat membawa topi anak kecil.
Ketika akhirnya Mahsa meninggal karena suatu penyakit, topi kesayangannya itulah yang dikuburkan bersamanya.
***
Sekarang, di tengah hari penghakiman itu, ia benar-benar ingat sepenuhnya. Topi yang bayangannya menudungi dirinya, dan hanya dirinya, dari sengatan panas Matahari di Padang Mahsyar itu adalah topi yang nyaris terlindas mobilnya, andai saja ia tak lekas menginjak pedal rem dan membanting stir ke kanan. Ia juga mulai bisa mengingat akan wajah gadis kecil pemilik topi itu, yang tersenyum padanya bak bidadari.
Lelaki itu terus mendongak, memandang takjub pada topi itu, pada wajah gadis cilik yang tak pernah dikenalnya itu. Tanpa disadarinya, pelan-pelan kakinya melangkah seperti dituntun oleh gerak topi itu, yang seakan didorong sepoi angin. Ia terus melangkah mengikuti arah gerak topi itu, tapi tak berani menduga-duga ke mana akan menuju.