Seperti yang sudah banyak kita ketahui bahwa kegiatan di pesantren tentu saja tidak lepas dari kegiatan keagamaan seperti halnya mengaji. Para santri sampai ada yang tertidur ketika mengaji karena mungkin mereka kelelahan dengan banyak aktivitas dan jadwal yang diberlakukan di pesantren. Jadwal jam mengaji yang diterapkan pada tiap pesantren tentu saja berbeda-beda, begitu juga dengan durasi lamanya mengaji. Ada yang singkat sekitar satu jam, bahkan ada yang lama sekali hanya untuk mengkaji satu kitab saja.
Hal ini tentu membuat para santri sedikit banyak jenuh dan mulai bosan jika pembahasan yang dilakukan ustadz monoton. Mereka akan mengantuk dan bahkan ada yang berbicara satu sama lain untuk menghilangkan kejenuhan. Jika kondisinya demikian, biasanya para santri saja menantikan terdengarnya sebuah kalimat yang akan membuat mereka kembali bersemangat dan menghilangkan kantuk. Kalimat tersebut tidak lain adalah Wallahu a’lam bisshawab yang diucapkan oleh ustadz sebagai pertanda berakhirnya jam mengaji.
Sebenarnya apa makna kalimat tersebut dan untuk maksud apa kalimat tersebut sering diucapkan berulang bagai mantra?
Secara harfiah, wallahu a’lam bisshawab mempunyai arti hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Hal ini tentu sudah tidak asing lagi di kalangan santri. Akan tetapi, sejatinya kalimat ini bukan hanya sekadar jargon. Kalimat ini adalah upaya tabid (pembiasaan) agar kita (guru/ustadz) selalu ingat bahwa penjelasan yang dilakukan adalah upaya mendekati kebenaran, tetap rendah hati dalam beragama dan mengimani serta menghidupkan pemilik kebenaran sejati, yaitu Allah. Kita tidak punya hak otoritas dalam menentukan bahwa pendapat kita mewakili kebenaran Allah. Sebab, apa yang kita sampaikan dalam mengajar boleh jadi tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah.
Dalam kitab Ihya Ulumuddin dikisahkan kehidupan para ulama pada zaman dahulu. Sebagian dari mereka menangis tersedu dan sedih manakala pendapatnya diikuti dan dipakai oleh orang lain. Tentu saja itu bukan tangisan bangga, namun tangisan sedih. Sebab, ia takut menanggung tanggung jawab manakala pendapatnya salah dan tidak sesuai dengan kehendak Allah.