Beberapa kali Al-Qur’an menyebut Nabi Ibrahim sebagai tokoh sentral dalam hikayat haji. Allah membimbing sang khalilullah ke rumah Ka’bah di Mekkah bersama putranya Ismail sebagaimana tertulis dalam surat al-Hajj ayat 26. Dalam literatur hadis, secara eksplisit haji disebut sebagai legacy of Ibrahim atau warisan Ibrahim. Dengan demikian, pelaksanaan haji bagian dari peran memahami kehidupan Ibrahim. Melalui ritual-ritual yang telah ditetapkan, para peziarah terhubung bersama dengan sejarah dan warisan Nabi Ibrahim.
Berabad-abad lamanya, orang-orang Arab telah melaksanakan haji, meskipun mereka tidak atau belum mengimani keberadaan Allah. Di situ, ritual haji menjadi penghubung mereka dengan nenek moyang (Ibrahim dan Ismail), kendati bangsa Arab sendiri menganut kepercayaan yang bertentangan dengan pesan nenek moyangnya. Rupanya, tujuan besar dari ritual haji, yakni “saling terhubung ke narasi, sejarah, dan komunitas bersama.” Dan kita sebagai orang beriman diharapkan menghargai tradisi besar sepanjang masa yang mengikat satu individu dengan miliaran manusia sepanjang sejarah.
Al-Qur’an menyajikan kisah unik bahwa Nabi Ibrahim adalah orang pertama yang memberitakan kewaiban haji kepada kaumnya. Namun, sebagian besar dalam Al-Qur’an juga menampilkan Nabi Ibrahim sebagai seorang pemimpin yang memiliki sedikit pengikut. Meski begitu, seruan itu telah dijawab oleh generasi sesudahnya. Seluruh penjuru dunia berusaha mengikuti jejaknya. Warisan Ibrahim memiliki pesan akan optimisme, harapan, dan kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa, yang mana segala yang tidak mungkin bisa terwujud dengan kehendak-Nya.
Ibadah haji juga menghubungkan kita untuk terkoneksi dengan komunitas dan bangsa yang lebih besar. Berbagai ras, etnis, suku bangsa, pria dan wanita dengan beragam usia saling menyinkronkan ritual dengan memiliki visi atau tujuan yang sama. Peziarah akan memiliki pengalaman yang kuat tentang persaudaraan dan kekerabatan yang luas.
Sebagaimana kesaksian Malcolm X pada tulisannya yang berjudul Letter from Mecca. Tersebab pengalamannya tinggal di Amerika Serikat yang mengalami rasisme, ia pun dikenal luas karena retorika anti kulit putihnya. Namun, setelah menjalani ibadah haji ia perlahan meninggalkan retorika tersebut, dan menulis sebuah surat yang berisikan akan Mekkah yang menggambarkan sifat transformatif pelaksanaan haji.