Transmisi Hadits dan Penanggulangan Hoax

32 views

Hadits adalah sumber literatur pokok yang kedua bagi umat Islam setelah al-Quran. Kedudukan hadits inilah yang membuat status kebenarannya harus dipastikan. Bila tak selaras dengan al- Quran yang sudah terjamin keabsahannya, misalnya, suatu hadits harus dikaji terlebih dahulu dan ditentukan status klasifikasi kebenarannya. Yakni, shahih, hasan, atau dloif.

Dalam perjalanannya, para ulama telah memeras pikirannya dalam pembahasan ulumul hadits, khususnya mengenai aspek kesahihan. Ulama kalangan al-mutaqaddimun, yakni ulama yang hidup di rentang waktu awal hingga abad ke-3 H, tidak secara spesifik mengemukakan poin-poin dalam menilai keabsahan sanad (jalur riwayat berita) hadits. Mereka pada umumnya mengemukakan berupa penjelasan naratif tentang bagaimana suatu riwayat dapat dipegang.

Advertisements

Menurut Muhammad Syakir (w. 1958 M), Imam Syafi’i (w. 204 H) dianggap sebagai ulama yang mula-mula menerangkan secara jelas kaidah kesahihan hadits pada karya fenomenalnya, ar Risalah. Namun, penjelasan Imam Syafi’i hanya menekankan aspek metodologis dari sanad, serta tidak membahas terlalu dalam mengenai kemungkinan riwayat yang cacat (illat) dan janggal (syadz).

Selanjutnya, Imam Bukhari (w. 256 H) serta Imam Muslim (w. 261 H) juga tidak spesifik menyebut kriteria sahih dalam karya-karyanya. Namun, liputan hadits yang mereka rekam dalam kitabnya, memberikan sumbangsih yang signifikan. Menurut al-Aini (w. 855 H) dalam Umdat al Qariy, keduanya menilai bahwa hadits shahih haruslah berada dalam kesezamanan (al muassarah) yang sama antara seorang rawi (orang yang meriwayatkan hadits) dengan rawi sebelumnya. Akan tetapi, keduanya juga berbeda pendapat mengenai pertemuan rawi. Imam Bukhari mengharuskan adanya pertemuan antar-rawi, sedangkan Imam Muslim tidak mengharuskan.

Pungkasnya, para ulama al-muta’akhirin (generasi setelah abad ke-3 H) berhasil memberikan definisi tegas terhadap kriteria sanad hadits yang shahih. Ibn Shalah (w. 643 H) dalam ‘Ulum al Hadits memberikan pengerian terhadap hadits shahih. Kemudian dinarasikan ulang dan lebih singkat oleh Imam an Nawawi (w. 676 H) dalam bukunya al Taqrib li an Nawawi Fann Usul al Hadits. Definisi tersebut berbunyi,

مااتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة

Artinya: “(Hadits shahih ialah) hadits yang bersambung sanadnya, (diriwayatkan oleh orang-orang) yang adil dan dlabith, serta tidak terdapat (didalamnya) kejanggalan dan cacat.

Mencegah Hoax

Makin tersedianya sarana dan media yang canggih, otomatis memudahkan transmisi informasi dari satu orang ke orang lain. Informasi yang disajikan bisa berasal dari mana pun, tanpa batasan waktu dan garis geografis. Efisiensi waktu juga menjadi tawaran yang ampuh bagi seseorang untuk beralih dari media tradisional menuju gawai modern seperti telepon pintar (smartphone).

Tak ayal, kesempatan ini pula membuka kemungkinan untuk kabar bohong, atau sering kita sebut dengan hoax, merasuki media informasi publik. Hoax adalah salah satu momok terbesar masyarakat masa kini yang digencar-gencarkan untuk diberantas. Namun kompleksitas sarana teknologi mutakhir sepertinya tidak akan bisa membendung arus informasi di masyarakat apabila tidak ada regulasi yang bisa mengaturnya.

Di sini, penulis menawarkan sudut pandang yang berbeda untuk membuat regulasi penanggulangan hoax dengan berdasar pada prinsip kaidah kesahihan hadits seperti yang telah dijabarkan sebelumnya. Sudut pandang ini bisa digunakan sebagai langkah represif metodologis, di samping penerapan regulasi resmi lainnya.

Seperti yang dipaparkan tersebut, hadits dapat dikatakan shahih apabila (1) sanadnya bersambung; (2) diriwayatkan oleh orang yang ‘adil dan dlabith; dan (3) terhindar dari kejanggalan (syadz) dan cacat (‘illat).

Pertama, tersambungnya historisitas suatu informasi sangat penting diperhatikan. Kita harus menelaah dan mencari sumber-sumber yang terkait dengan berita tersebut, dengan cara menelusuri hulu suatu perkara berasal. Aktualisasi ini berasal dari kajian ilmu Rijal al Hadits dengan memeriksa terlebih dahulu hubungan guru dan murid dalam transmisi informasi hadits.

Kedua, kita harus bisa menjamin otoritas pembawa berita bisa dipertanggungjawabkan. Sekarang ini, kita dapat mengakses media mana pun yang akan digunakan sebagai literatur dalam mencari informasi. Namun, persoalannya adalah kita pun juga harus bisa menentukan mana media yang kredibel dan terpercaya. Sederhananya, hal itu dapat dilihat dari berbagai data survei yang memaparkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media tertentu.

Aspek kredibilitas ini sangat vital dalam kajian ‘ulum al hadits. Karena para ulama memberikan perhatian besar terhadap perilaku dan track record dari rawi tertentu dalam kamus biografi rawi. Apabila ditemukan kelemahan dan kejelekan dalam taraf akhlak dan perilaku, maka sudah jelas akan memengaruhi status hadits yang akan dijadikan dasar hukum (hujjah).

Ketiga, adalah langkah analisa terhadap kemungkinan yang janggal dari media dalam menawarkan berita. Pada kasus hoax, analisa ini lebih tepat digunakan untuk melihat teks berita secara menyeluruh. Jika mengikuti langkah para ulama, maka hal yang tepat untuk dilakukan adalah dengan mengkomparasikan informasi yang sama dari berbagai sumber yang berbeda. Dengan metode ini, akan dapat ditengarai mana saja sumber-sumber yang melenceng dari fakta yang sebenarnya.

Langkah analisa tersebut sangat terkait antara satu dengan yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan. Konsep dasar para ulama terhadap penilaian hadits menurut penulis sangat sah bila diaktualisasikan untuk memfilter informasi di masa kini. Karena hakikat hadits sebenarnya adalah rekaman informasi. Sangat bijak apabila kita bisa menerapkan keilmuan ini untuk membentengi kita serta orang disekitar terhadap hoax.

Wallahu A’lam bi as Showaab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan