Pertanyaan tentang usia ideal anak masuk pesantren sering muncul di kalangan orang tua muslim. Sebagian ingin anaknya segera mengenal dunia pesantren sejak dini, agar terbentuk karakter religius sejak kecil. Sebagian lain memilih menunggu anak lebih besar, agar lebih siap secara mental dan sosial. Keduanya punya niat baik, tapi persoalan kesiapan anak tidak sesederhana usia di angka.
Antara Niat dan Kesiapan

Tidak sedikit orang tua yang memasukkan anak ke pesantren di usia sekolah dasar. Alasannya mulia: agar anak terbiasa disiplin, terjaga dari pergaulan bebas, dan dekat dengan Al-Qur’an. Namun, banyak yang belum menyadari bahwa pendidikan pesantren bukan hanya soal hafalan dan ibadah, tapi juga soal kemandirian, tanggung jawab, dan kemampuan mengelola diri.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menulis bahwa pendidikan anak harus dimulai “dengan kelembutan dan kebijaksanaan,” karena hati anak masih mudah terpengaruh. Jika terlalu keras atau terburu-buru, ia akan tumbuh dengan hati yang kaku. Artinya, pendidikan agama tidak bisa dipaksakan sebelum jiwa anak siap menerima nilai-nilainya.
Anak usia dini umumnya masih membutuhkan bimbingan emosional yang intens. Mereka masih belajar memahami rasa takut, rindu, dan tanggung jawab. Jika terlalu dini berpisah dari rumah, sebagian anak bisa merasa kehilangan rasa aman, bahkan ada yang tumbuh dengan luka batin. Bukan karena pesantren buruk, tapi karena dirinya belum siap.
Belajar dari Pengalaman
Ada santri yang masuk pesantren di usia 7 tahun dan tumbuh luar biasa mandiri. Ada pula yang baru masuk setelah SMP, tapi cepat menyesuaikan diri karena sudah siap secara mental. Namun, tak jarang pula kita temui santri yang “tampak baik di luar tapi rapuh di dalam” — mereka patuh karena terpaksa, bukan karena sadar.
Syekh Az-Zarnuji dalam Ta‘lim al-Muta‘allim menekankan pentingnya kesiapan niat dan kesungguhan belajar: “Barang siapa belajar tanpa niat yang benar, maka ia akan letih tanpa hasil.” Begitu pula anak yang dimasukkan ke pesantren tanpa kesiapan hati, ia bisa belajar bertahun-tahun namun kehilangan rasa bahagia dalam menuntut ilmu.
