Warmad Versus … Mart

51 views

Dulu, proses kreatif saya sering terhenti pada nisfu lail. Bukan sebab mau bersujud, tapi semata-mata karena batang terakhir telah menjadi abu. Sebab, di tengah malam sesendiri itu, mana ada toko yang masih buka.

Tapi sekarang beda cerita. Sebab, hanya kurang dari 200 meter di mana saya tinggal, sudah ada dua warung yang selalu buka selama 24 jam. Nonstop. Dan segala apa ada di sana. Saya tinggal berjalan sebentar, membeli berbatang-batang lagi, dan proses kreatif bisa dilanjutkan lagi.

Advertisements

Luar biasa manfaat dan pengaruh keberadaan toko-toko itu. Milik siapakah mereka, toko-toko itu, warung-warung itu? Orang-orang menyebut itulah tokonya orang-orang Madura, warungnya orang-orang Madura. Ada yang menyebutnya “Wara”, kependekan dari “warung madura”. Ada yang menyebutnya “Warmad”, kependekan dari istilah yang sama. Apa pun sebutannya, istilah itu merujuk pada toko-toko kelontong yang dikelola oleh para tretan dari Pulau Garam itu.

Mereka memang fenomenal —toko-toko kelontong tretan Madura itu. Hanya dalam beberapa tahun, mereka sudah mengecambah, menjamur ke seluruh negeri. Di kota-kota besar, warmad-warmad ini telah menjadi penantang terdepan raksasa waralaba ritel seperti Indomaret dan Alfamart. Jumlahnya, masyaallah, ribuan, puluhan ribu, … atau berapa belum ada yang data yang pasti dari total 3,5 juta toko kelontong di seluruh Indonesia.

Sesungguhnya kehadiran warmad-warmad itu tak hendak menantang-nantang para raksasa ritel waralaba yang sudah menggurita itu. Mereka hanya hadir di ceruk pasar yang berbeda. Hadir secara sangat dekat, begitu intim, di tengah-tengah masyarakat, masyarakat konsumen. Mereka hadir hampir di semua jalan-jalan kecil atau bahkan gang-gang sempit perkampungan padat penduduk. Itulah kenapa bangunan toko-tokonya juga berukuran mini: rata-rata hanya 20-30 meter persegi.

Karena ceruk pasar yang disasar berbeda, maka mereka juga hadir dengan tampilan dan pelayanan yang berbeda. Bangunan toko mini itu mereka desain secara sederhana, rapi, namun meriah. Dan disiapkan untuk menjajakan segala yang dibutuhkan masyarakat sekitarnya. Bahkan selalu ada pom bensin mini di depan tiap warmad itu, yang seakan menjadi ciri khasnya. Ikonik.

Yang paling khas dari toko-toko kelontong madura itu adalah buka 24 jam nonstop dengan harga yang lebih terjangkau. Itulah keunggulan dari warmad-warmad terutama yang berlokasi di kota-kota besar yang aktivitas masyarakatnya juga berlangsung selama 24 jam. Maka, ketika jam Indomaret dan Alfamart tidur, warmad-warmad itu tetap hadir, tetap terbuka untuk melayani pelanggannya. Kehadirannya memberi banyak pilihan bagi masyarakat konsumen kelas menengah-bawah.

***

Fenomena warmad ini merupakan terobosan luar biasa dalam menggerakkan roda perekonomian masyarakat kelas menengah-bawah. Di kota-kota besar, misalnya, omzet mereka lumayan gede. Minimal Rp 20-30 juta per bulan. Bahkan, ada yang pendapatan kotornya di atas Rp 100 juta.

Dengan potensi yang demikian besar, jejaring toko-toko kelontong madura ini bukan sekadar bisa untuk bertahap hidup, namun justru bisa menjadi modal signifikan untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan, ekonomi masyarakat kelas menengah-bawah yang seringkali tertekan gurita pemodal kakap. Giliran mereka kini yang menekan para raksasa ritel tersebut.

Ada pelajaran berharga dari fenomena warmad ini: bisnis adalah bisnis. Masyarakat Madura, yang mayoritas muslim, yang dikenal “fanatik” dalam beragama, menjalani bisnis sebagai bisnis. Sebenar-benarnya bisnis, tanpa embel-embel simbol agama. Saya belum pernah mendengar ada warmad yang diberi nama “Toko Kelontong Syariah”, misalnya. Atau “warung madura hanya untuk orang madura”, misalnya. Pendeknya, zonder dari simbol-simbol partikularistik, termasuk simbol-simbol keagamaan.

Ini, tentu berbeda dengan fenomena munculnya “mart-mart” yang “berbau-bau syariah” beberapa tahun lalu. Misalnya, “212 Mart” yang dimaksudkan sebagai toko ritel berbasis syariat. Ia memang sengaja dihadirkan untuk berhadap-hadapan dengan waralaba raksasa ritel semacam Indomaret dan Alfamart. Memperhadapkannya bukan dengan elemen bisnis, tapi dengan simbol-simbol agama: “yang sono nonsyariah”, “yang sini syariah”.

Tentu, kehadiran mart-mart seperti itu tidak diterima oleh masyarakat konsumen karena memang tidak menawarkan pilihan yang reasonable, yang make sense, terutama bagi masyarakat konsumen kelas menengah-bawah. Maka, sudah bisa ditebak dari jauh-jauh waktu, mart-mart seperti itu akan dihukum oleh hukum pasar: bangkrut dan mati.

Sebagaimana hukum alam, hukum pasar itu juga universal. Pasar selalu punya hukumnya sendiri, kadidah-kaidahnya sendiri. Jika ingin memenangi persaingan pasar, berebut konsumen, maka kita juga harus paham bagaimana hukum pasar bekerja, bagaimana kaidah-kaidah sistem pasar berjalan. Hukum pasar itulah yang oleh Adam Smith disebut the invisible hand. Tangan-tangan tak terlihat yang bekerja. Siapa yang bisa menjamin hukum pasar itu bukan bagian dari sunnatullah? Siapa yang bisa menjamin bahwa “tangan-tangan tak terlihat” itu bukan tangan-tangan Tuhan?

Mungkin para pengelola warmad itu tak mempelajari ilmu ekonomi, tak paham akan apa itu hukum pasar. Tapi dari fenomena keberhasilannya, kita bisa merasakan para tretan Madura itu berbisnis sesuai dengan kaidah-kaidah bagaimana sistem pasar bekerja. Bahkan, pasarnya pun bisa didorong hingga begitu dekat dengan pintu-pintu rumah kita. Di tengah malam sekalipun.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan