Siang itu, warga kampung Toteker dikagetkan dengan suara aneh. Suara yang tak pernah mereka dengar selama mendiami tanah leluhur tiba-tiba datang begitu saja. Baru kali ini ada suara semacam itu. Membingungkan. Sewaktu-waktu membuat bulu kuduk mereka berdiri.
Meski terdengar asing, suara itu sangat syahdu meniti setiap undakan ranting-ranting pohon. Menyapu kesiur sekungkung janur dan daun siwalan yang bergesekan. Tak ada yang tahu pasti itu suara apa. Tapi yang jelas suara itu seperti zikir yang selalu warga dengar setelah azan berkumandang dari toa musala.
Setiap angin berembus, berpasang-pasang mata dipicingkan. Daun telinga bergerak-gerak menangkap senandung suara yang selalu terdengar ketika daun siwalan bergesekan. Lama kelamaan, mereka seolah meyakini bahwa pohon siwalan sekitar kampung sedang berzikir.
Ah, tidak mungkin. Mana ada pohon berzikir. Dari waktu ke waktu, di sawah, di pasar, di musala misteri suara aneh itu tak pernah reda diperbincangkan. Mengalahkan debat pemilihan kepala desa yang merebak ke seluruh penjuru kampung.
“Apa iya itu tanda-tanda akhir zaman?” tanya seorag warga.
“Tak tahu juga. Kata pak ustaz, kiamat akan datang jika matahari terbit dari barat,” batang rokok yang tinggal separo diisap dengan nikmat. Lalu dilempar ke sembarang tempat.
“Kalau menurutku, jelas itu bukan. Kan, cuma suara aneh,” ucap teman yang lain sambil membetulkan posisi duduknya.
Satu-dua orang di antara mereka selalu berharap sepoi angin tiada henti menerpa daun siwalan. Mereka tak pernah merasa terganggu dengan suara aneh itu. Justru mereka merasa ada setetes embun menyelimuti padang tandus di hati mereka.
Semakin hari suara serupa lantunan zikir itu membuat rasa penasaran di dada warga semakin buncah. Tak bisa lagi mereka memendam keingintahuan di hatinya, siapakah gerangan yang sedang berzikir? Lama kelamaan sebagian warga diam-diam mendaki lereng bukit Garincang, menyusuri jalan setapak dengan mata memandang setiap deretan pohon siwalan.