1 Muharram, Sejarah dan Filosofinya

170 views

Peringatan 1 Muharram pada tahun 2022 ini jatuh pada hari Sabtu, 30 Juli 2022. Dalam Surat Keputusan Bersama 3 Menteri, 1 Muharram ditetapkan sebagai hari libur nasional dan hari libur Tahun Baru Islam 1444 H.

Tanggal 1 Muharram merupakan titik tolak perkembangan Islam secara kaffah, karena pada saat itu Rasulullah saw hijrah dari Kota Mekkah ke Kota Madinah. Secara geopolitik Islam, agama hanif ini mulai merambah titik-titik pusat perkembangan Islam. Mengibarkan bendera damai untuk meneguhkan Islam sebagai agama kemanusiaan dan kehidupan beragama yang bermartabat.

Advertisements

Sejarah 1 Muharram

Sejarah 1 Muharram merupakan bagian terpenting dalam jejak perkembangan Islam. Dari berbagai sumber disebutkan bahwa pada 1 Muharram adalah awal dari perintah Allah swt kepada Nabi Muhammad untuk melakukan hijrah ke Kota Madinah. Tentu saja apa yang disyariatkan terkait hijrah telah mendapat legitimasi dari Yang Mahakuasa. Namun demikian, ikhtiar sebagai manusia biasa tetap menjadi seluk beluk sejarah dengan segala suka dan dukanya.

Ada banyak hal yang dilakukan kaum muslim terkait dengan 1 Muharram, baik sebagai tradisi maupun sebagai bagian dari mendekatkan diri kepada Allah swt. Di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, bahkan ada Surat Edaran Bupati untuk mengadakan kegiatan Khatmil Quran.

Tentu saja di lain daerah juga terdapat berbagai kegiatan dengan nilai-nilai keislaman dan untuk lebih dekat, mengabdi kepada Allah swt. Ragam kegiatan keislaman menasbihkan bahwa umat Islam masih memiliki itikat baik untuk melakukan kebaikan di dalam hidup dan berkehidupan. Sedangkan menurut sebuah Hadis disebutkan bahwa pada Bulan Muharram kita disunahkan banyak berpuasa.

Filosofi Muharram

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 36).

Berdasarkan ayat di atas, bisa diambil makna bahwa dalam satu tahun, Allah SWT membagi bulan menjadi 12 bilangan. Di antara 12 bulan tersebut, ada 4 yang disebut sebagai bulan haram. Para ahli tafsir berpendapat, empat bulan haram tersebut ialah Muharram, Zulkaidah, Zulhijah dan Rajab, demikian dilansir NU Online. Keterangan mengenai nama empat bulan haram itu terdapat di sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA:

Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan, di antaranya terdapat empat bulan yang dihormati, tiga bulan berturut-turut, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, serta satu bulan yang terpisah yaitu Rajab, yang terdapat di antara bulan Jumadil Akhir dan Sya’ban,” (HR Bukhari dan Muslim).

Di dalam Al-Quran Allah swt berfirman, “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, berperang dalam bulan itu adalah (dosa) besar. Tetapi menghalangi (orang) dari jalan Allah, ingkar kepada-Nya, (menghalangi orang masuk) Masjidilharam, dan mengusir penduduk dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) dalam pandangan Allah. Sedangkan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu sampai kamu murtad (keluar) dari agamamu, jika mereka sanggup. Barang siapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 217).

Kerwanto dalam artikel “Falsafah Bulan Muharram: Tafsir Q.S. At-Taubah Ayat 36” menulis, bahwa larangan berperang pada “bulan haram” bisa dimaknai sebagai ajang melakukan perdamaian. Oleh karena itu, salah satu prinsip yang dapat diambil selama bulan Muharram adalah saling berdamai satu sama lain.

Sejumlah ahli tafsir bahkan menyebut, amalan-amalan ibadah yang dilakukan selama empat bulan haram itu akan dilipatgandakan pahalanya. Demikian juga balasan untuk perbuatan buruk pada 4 bulan ini, akan lebih besar. Hal ini seperti dijelaskan Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, “Allah SWT mengkhususkan empat bulan haram dari 12 bulan yang ada, bahkan menjadikannya mulia dan istimewa, juga melipatgandakan perbuatan dosa disamping melipatgandakan perbuatan baik.”

Momentum Menebar Kebaikan

Peringatan 1 Muharram 1444 H dapat dijadikan momentum untuk menebar kebaikan. Sebagimana dijelaskan bahwa pada Bulan Muharram umat Islam dilarang untuk berperang. Diharamkan untuk saling menyakiti, baik secara verbal maupun nonverbal. Mafhum dari tidak boleh berperang adalah bagaimana kita menabur kebaikan, menebar kebenaran, dan mengibarkan panji cinta di antara sesama manusia.

Kebaikan yang kita tabur di Bulan Muharram pun tidak dibatasi kepada sesama manusia an sich. Lebih dari itu juga menanamkan nilai ibadah untuk lebih taqarrub kepada Allah swt. Sebagimana kita mafhum, bahwa pada Bulan Muharram kita disunahkan untuk berpuasa, memperbanyak zikir, memberikan sedekah, dan kebaikan-kebaikan lainnya.

Santri dan 1 Muharram

Biasanya, santri yang ada di pondok-pondok pesantren tidak ketinggalan dalam menyambut Tahun Baru Islam, 1 Muharram. Memasuki Muharram para santri mengadakan halaqah zikir, seperti membaca Al-Quran secara bersama-sama dan membaca doa akhir dan awal tahun yang dipimpin oleh pengasuh pesantren.

Selain pendekatan gerakan batin dengan majlis zikir dan doa-doa lainnya, pada 1 Muharram juga diisi dengan berbagai kegiatan keagamaan lainnya. Seperti lomba-lomba keislaman, diskusi keagamaan, maupun kegiatan yang sifatnya hiburan atau reflektif. Selama masih dalam koridor kesantrian, kegiatan apapun dapat dijadikan program 1 Muharram.

Tentu harus diwaspadai kegiatan-kegiatan yang bersifat kebablasan. Seperti mengundang biduanita yang lengkap dengan sawerannya, dalam hal ini sangat tidak relevan dengan kehidupan santri. Oleh karena itu, santri yang mengadakan kegiatan Muharram harus bersandar pada etika keislaman dan bersumber dari tradisi santri yang memiliki nilai akhlaqul karimah. Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan