297 KILOMETER

117 views

NISAN ISTRI

Apa guna aku merangkai bunga ini semalam suntuk, sayang
Jika hanya nisanmu yang menikmati aromanya
Aku belajar menghitung duka dan melatihnya menjadi sabar
Namun kau masih bergelantungan dalam hati menjadi debar

Advertisements

Tanah makammu bukan rindu yang kutunaikan
Ia hanya perantara untuk tubuhmu yang niskala
Aku bahkan lupa menjadi diriku sendiri
Sebab, segenap ruang di tubuh ini, kasihmu memancar tanpa henti

Daun-daun di atas makammu juga membesuk dan membusuk
Namun air mataku akan terus bertandang dan selalu segar
Kepergianmu adalah karam yang tak pernah kuamini
Nyaris seluruhku, juga terkubur dalam gundukan ini

Sumenep, 20 November 2022.

SEORANG PENJAHIT

Jika Ismail mengalirkan Zam-zam dari kakinya
maka dari kakimu, seribu satu nasib lekas membujuk Tuhannya
meminta agar luka tak kembali merundung
sebab katun dan benang adalah analogi kesetiaan

diameter roda mesin jahit seumpama kompas di tubuhmu
tak ada arah yang salah, selain jalan pulang paling tulus
meteran panjang di lehermu, jarak mengukur baju pelanggan
lalu mengukur usiamu yang sudah lama bertandang

“Jahitan itu adalah caraku menyatukan cinta,” katamu
Sementara, kau hanya menyambungkan luka menjadi masalalu
Menjadi syukur yang tak pernah habis, meski hujan tak henti berkelakar
Sebab, hikayat benang jahitmu adalah kesetiaan yang berpendar

Sumenep, 2022.

DI BANGKU TAMAN

Entah kenapa malam tiba-tiba menciptakan hening paling anggun
Tak ada riak sedikitpun, kecuali cinta yang dilepas tuannya menuju hati paling utuh
Seperti kisah kakek nenek di kursi taman, suatu malam
Yang seolah tak mengizinkan kasih menjadi nisan

Khidmat sekali, mereka bercanda dengan keheningan
Kadang mengajak Tuhan dalam pelukan hangatnya
Dekapan yang lebur dalam tubuh renta
Lalu mengakar lagi, menjelma keabadian

Kursi taman tak seringkih wajah mereka
Pun tak ada lagu klasik yang menguning di telinga
Namun sial! harmoni keduanya sangat melenting
Memendarkan senyum, melebihi lampu jalan yang hening

Sumenep, 2022.

297 KILOMETER

Aku tak pernah belajar menghitung jarak
Padamu, bahkan pada Tuhan sekalipun
Sebab, debar di dadaku tak butuh hitungan itu
Ia begitu dekat, hingga tak ada ruang di tengahnya

Suaramu masih saja menjadi biru di kepala
Seluler setidaknya telah membasahi segenap kisah
Yang di rantingnya, tangkai puisi berwarna kelabu
Dan berdaun pirang, tempat tangis-tawaku berpulang

Jarak melumatkan pertemuan, pun melamatkan wajahmu
Kita bertutur segala hal, termasuk menceritakan pecundang yang kehujanan
Hanya untuk memulangkan rindu-rindu ini
pada tempatnya bertasbih, tidak lain di hatimu

Sumenep, 2022.

ilustrasi: kompas.com.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan