Pesantren selalu identik dengan pengajaran kitab klasik, dalam hal ini dikenal dengan turats. Kita sudah sangat mafhum bahwa kitab-kitab klasik itu juga dikenal dengan sebuta kitab kuning.
Pada masa awal kemunculannya, lembaga pendidikan pesantren lebih banyak mengajarkan tentang kitab-kitab klasik yang ditulis dan berpahamkan mazhab Syafi’i. Namun, dalam perkembangannya, lebih-lebih di masa kini, kitab-kitab yang dipelajari di pesantren sudah cenderung sangat beragam.
Tujuan pengajaran kitab-kitab berhaluan Syafi’i saat itu adalah untuk mendidik calon-calon ulama. Sehingga, pemahaman tentang ulama dalam hal ini adalah selayaknya guru di lembaga-lembaga formal, namun memiliki kekhususan dalam bidang keagamaan dan keberagamaan.
Pesantren di masa-masa kolonial menyampaikan kajian tentan jihad fi sabilillah, hal ini menjadi sangat wajar karena situasi dan gerak sosial yang melatarbelakanginya. Maka tidak aneh, kalau di masa yang hiruk-pikuk dengan ragam kemajuan teknologi, akses informasi yang sangat mudah, justru di pesantren banyak muncul kajian-kajian tentang tasawuf dan tauhid.
Dengan mengamati pemilahan gerak sosial, kajian pesantren, dan output yang akan dilahirkan, maka pesantren dan kitab kuningnya benar-benar memberi ruang gerak yang fleksibel terhadap dinamika sosial yang ada.
Artinya, pesantren berhak mendapatkan peringkat munasib fi kullizzaman, sesuai dengan perkembangan sosial dari masa ke masa. Hal ini dapat kita lihat pada kurikulum yang hampir sama antara pesantren satu dengan lainnya. Kitab-kitab yang diajarkan hampir sama: diawali dengan kitab yang berkaitan dengan teks, kemudian ushul, kemudian fikih, lalu dikembangkan lagi dengan tasawuf dan tauhid.
Hal ini pernah disinggung oleh Zamakhsyari Dlofier, bahwa kesamaan kitab yang diajarkan dan sistem pengajaran di lingkungan pesantren tersebut menghasilkan homogenitas pandangan hidup, kultur, dan praktik-praktik keagamaan di kalangan kiai dan santri di seluruh Nusantara. Karena homogenitas tersebut terbangun secara mapan pada tingkat tinggi di Makkah dan Madinah. (Zamakhsyari D. 2015:88).