Pertanyaan yang hendak dijawab dari buku karya Abdul Munir Mulkhan ini ialah “Agenda apa yang bisa dikembangkan sesudah mitos pembangkang bagi kaum santri memudar atau bahkan telah runtuh?”
Untuk mempertajam ulasan atas pertanyaan tersebut, buku yang diberi judul Teologi Kiri ini dilengkapi dengan analisis tentang perkembangan perpolitikan nasional pasca runtuhnya rezim Orde Baru pada 1998.
Buku ini terdiri dari lima bab. Secara berturut-turut, bab-bab dalam buku ini diberi judul “Jalan Baru Mencari Tuhan”, “Perilaku Politik Santri”, “Pudarnya Solidaritas Ideologi”, “Teologi Kiri dalam Bingkai Ideologi Fungsional”, dan “Teologi Kiri: Dari Ritus Ke Aksi”.
Isu sentral yang diangkat Abdul Munir Mulkhan dalam buku ini adalah “Teologi Kiri” dan “Kaum Proletar” yang yang disandingkan dengan “Mustadh’afin” (Kaum Tertindas). Namun ini dimaksudkan bukan sekadar mencari pijakan teologis, melainkan didasari argumen intelektual mengenai perbedaan akar sosial munculnya kedua kosa kata tersebut.
Penulis buku ini, Abdul Munir Mulkhan, lahir di Jember 13 November 1946. Ia telah banyak menulis buku, antara lain The Resurgence Of Global white Supremacists and Khilafahists; Implications For Southeast Asian Security, Indonesia On The Prophetic (‘Ala Minhajin Nubuwah)-A Case Study (Bersama Prof. Dr. Bilveer Singh)( Yogyakarta: Maharsa, 2002); Super Leader Era Milenial & Manajer Pendidik Profetik (Bersama Fitri Maulidiah Rahmawati) (Yogyakarta: Maharsa Arta Mulia, 2020); Jejak-jejak Filsafat Pendidikan Muhammadiyah (Penyunting Bersama Robby H. Abror) (Yogyakarta: Majlis Dikti-Litbang PP Muhammadiyah, 2019).
Di dalam buku ini dijelaskan bahwa mustadh’afin tidak selalu terkait dengan dengan struktur masyarakat industri, walaupun ia muncul akibat pola produksi yang tidak adil. Terdapat masalah ideologis yang bersumber pada konsep teologis, di mana kaum mustadh’afin cenderung tidak ditempatkan sebagai bagian dari kemusliman dengan label yang sering disebut “abangan”.
Bagian akhir buku ini membahas agenda mengubah ritus menjadi aksi. Berbagai praktik ritual yang selama ini dipercaya dilakukan bagi maksud pembebasan kemiskinan tidak pernah berhasil hanya karena praktik ritual tersebut lebih ditujukan bagi kepentingan diri sendiri atas nama Tuhan.