Sebuah naskah “kumal” itu tersimpan baik di perpustakaan KITLV Leiden dan mikrofilmnya kini terkoleksi di perpustakaan FIB UI. Ia bukan dokumen politik dan bukan pula surat perjanjian perdagangan. Ia adalah cerita bergambar yang secara fisik sederhana berisi sindiran dan kritik (satire) terhadap kesewenangan kolonial. Sejumlah filolog Indonesia sepakat bahwa komik, sering juga disebut iluminasi, itu dibuat pada awal abad ke-20 dan beredar sangat terbatas dan merupakan komik tertua di Indonesia. Achadiati, filolog senior dari UI, menyatakan bahwa komik anonim itu dibuat oleh seorang penulis dari salah satu pesantren di Gresik, Jawa Timur. Meski tidak banyak disebut-sebut dalam sejarah perkomikan Indonesia, Achadiati percaya, mungkin atas telusuran filologisnya, bahwa komik di Indonesia lahir pertama kali dari pesantren.
Pada tahun 30-an abad ke-20, Kiai Ichsan dari pesantren Jampes, Kediri menulis syair panjang berjudul: Irsyadul Ikhwan fi Ahkami al-Qahwah wa al-Dukhon. Sebuah polemik serius tentang hukumnya merokok dan minum kopi yang oleh kebanyakan ulama Hijaz dan Yaman diharamkan. Konon, ilham menulis syair panjang itu muncul ketika kiai Ichsan menonton wayang sembari minum kopi dan merokok sepanjang malam. Kiai Ichsan memang serius adu argumentasi, tetapi yang menarik adalah kemampuannya menuangkan perdebatan teologis dan syar’iah dalam bait-bait yang imajinatif, memikat, dan komunikatif.
Ketika hasrat menjadi politisi merembes di kalangan kaum muda daerah dan pedesaan sekitar awal tahun 60-an, kiai Bisri Mustofa (ayah Gus Mus) dari Rembang, Jawa Tengah menulis novel lakune lakon (?) yang penuh satire terhadap kecenderungan politisi muda NU saat itu. Novel yang hanya sekali cetak ini menarik, bukan hanya karena ia kritis terhadap keadaan, tetapi juga faktual, detail mengungkap perubahan-perubahan ranah mikro, dan etnografis.
*****
Komik, syair, dan novel tersebut hanyalah sebagian contoh sastra pesantren yang melalui proses panjang dan berliku kini mulai diakui oleh publik akademis yang terbatas. Mungkin masih banyak lagi karya sastra pesantren tempo dulu yang belum terungkap dan tersimpan dalam berbagai perpustakaan pribadi sebagian kaum muslim Nusantara, dan sebagian tidak lagi dipandang sebagai karya sastra melainkan sebagai kitab keagamaan atau pusaka warisan leluhur.