Hari ini, dunia media sosial Indonesia dirubung bermacam hoaks alias berita bohong. Jelas, penyebaran berita bohong bisa memicu terjadinya perpecahan dan polarisasi masyarakat. Jika tetap dibiarkan, hoaks akan menjelma sebagai bom waktu yang kapan saja bisa meledek. Jika sudah demikian, kita bisa apa?
Mungkin, bagi beberapa orang, hoaks dianggap remeh. Namun bagi yang jeli, ini sangat berbahaya sehingga harus segera dilakukan upaya preventif. Terlebih dengan arus penyebaran informasi yang tidak bisa dibendung lagi, setiap orang harus waspada dan cermat dalam membaca semua informasi yang tersedia.
Jika hal tersebut dihubungkan dengan jumlah masyarakat beragama di Indonesia, Islam menjadi agama mayoritas yang mencapai angka 86,9 persen dari keseluruhan jumlah penduduk. Secara otomatis, umat Islam menjadi penyumbang terbesar dalam penyebaran hoaks. Entah sebagai pelaku penyebar beritanya, atau sebagai pembacanya.
Padahal, dalam Islam sendiri telah diajarkan mengenai larangan dan dosa besar bagi siapa saja yang menyebarkan berita bohong. Sebaliknya, setiap Muslim dianjurkan untuk selalu cermat dan jeli, tabayun, agar informasi yang didapat tidak memberikan dampak buruk bagi dirinya maupun orang lain.
Mengenai hal tersebut, tertera jelas dalam surat Al-Hujurat ayat 6 yang menyinggung tentang hoaks, yang terjemahannya, yakni:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu,” (Q.S. al-Ĥujurāt/ 49: 6).
Dalam kitab Tafsir Al-Mubin, ayat tersebut meneguhkan dengan jelas tentang haramnya mengambil dan menyebarkan berita dari orang fasik tanpa terlebih dahulu mengecek kebenarannya. Kata fasik sendiri dalam keterangan Ibnu Faris di Kitab Maqayis diartikan sebagai seseorang yang keluar dari jalur ketaatan.
Sementara itu, al-Mushtafawī di Kitab at-Tahqīq fī Kalimāt al-Qur’ān menyatakan bahwa fasik merujuk kepada sesuatu yang keluar dari hal-hal yang sudah disepakati, baik secara agama, akal, maupun hukum alam.