Ini kisah tentang “kekejaman” Pakde Kiai, yang membuat saya tak berkutik dan terpaksa harus mondok.
Saat saya masih anak-anak usia sekolah dasar, Pakde memang sudah didapuk menjadi kiai, menggantikan peran kakek yang sudah meninggal. Tapi saat itu pondok peninggalan kakek sudah mulai surut.
Sebagai kanak-kanak, bersama teman-teman sebaya, saya tergolong tambeng, nakal. Suka kabur-kaburan saatnya ngaji. Suka bercanda saat salat berjamaah di musala. Ada saja tingkah polah dalam bercanda. Misalnya, saya, atau satu dua teman sebaya, kadang menyembunyikan tongkat pemukul beduk di balik sarung. Saat jemaah salat sedang bersujud, saya, atau teman saya, siap-siap hendak menaruh tongkat beduk di atas betis teman lainnya yang menjadi target.
Maka, saat waktunya jemaah duduk dari sujud, sang korban akan terganjal tongkat beduk jika duduk. Kalau memaksa duduk ia akan merasa kesakitan karena ada ganjalan tongkat beduk di antara betis dan bokong. Biasanya, yang dilakukan korban hanyalah “setengah duduk” alias jengking.
Pada momen itu, kami biasanya saling pandang dan menutup mulut untuk menahan kikikan tawa agar tak terdengar sampai ke pengimaman. Tapi Pakde Kiai ini selalu tahu apa yang terjadi di saf belakang. Jika kesabarannya sudah habis, kami, kanak-kanak ini, sehabis salat berjamaah akan disuruh berdiri, berbaris rapi, lalu kuping kami akan dijewer sampai terasa panas, satu per satu. Itulah salah satu “kekejaman” Pakde Kiai.
Di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar, Pakde memang dikenal sangat keras dengan disiplin tinggi dalam hal pendidikan agama dan penerapan syariah. Kalau Pakde sudah bilang A, yang lain mau tak mau harus nurut. Tapi Pakde memang disegani karena kealimannya, dan apa yang diucapkan atau dilakukan selalu jadi panutan. Tapi, di mata kami sebagai kanak-kanak, itu sebentuk “kekejaman”. Kami selalu takut karena tak bisa leluasa tambeng.
Nah, “kekejaman” Pakde yang terakhirlah akhirnya yang membuat saya benar-benar tak berkutik dan terpaksa harus mondok. Sejak masih SMP, orangtua sudah ingin saya mondok. Bahkan, suatu sore saya pernah dimasukkan ke pondok tetangga desa, dan langsung diserahkan kepada kiai pondok. Malam itu saya tak pulang memang, dan sudah tidur di salah satu gothakan, bilik angkring, yang ada di pontok itu. Eh, paginya saya sudah nongol lagi di rumah dan tak kembali lagi.