Tantangan Santri sebagai Penjaga Tradisi di Era Teknologi

70 kali dibaca

Hari Santri diperingati setiap tanggal 22 Oktober bukan hanya seremonial semata, tetapi momentum untuk mengingat peran besar santri dalam perjalanan bangsa.

Tanggal 22 Oktober diperingati sebagai hari santri berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri.

Advertisements

Peringatan ini dibuat sebagai momentum untuk mengenang, meneladani, serta melanjutkan peran para ulama dan santri dalam membela dan mempertahankan NKRI, termasuk dalam pembangunan Bangsa Indonesia.

Santri bukan sekadar identitas seseorang yang menempuh pendidikan di pondok pesantren, tetapi santri merupakan simbol perjuangan, ketangguhan, serta penjaga nilai-nilai tradisi dan agama yang berpadu dengan semangat keislaman dan kebangsaan.

Di tengah tantangan zaman yang semakin modern dan global, santri memainkan peran penting sebagai penjaga tradisi sekaligus penggerak perubahan yang positif bagi kemajuan bangsa.
Sejarah mencatat, santri telah mengambil peran sentral dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Hal ini dibuktikan dengan adanya Fatwa Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari pada tahun 1945. Ini menjadi bukti nyata keberanian santri dalam membela negara.

Fatwa tersebut menggerakkan ribuan santri dan ulama untuk mengangkat senjata melawan penjajah, terutama dalam peristiwa heroik di Surabaya pada 10 November 1945. Maka dari itu, sangat jelas bahwa santri bukan hanya fokus pada pendidikan agama, tetapi juga ikut berkontribusi dalam pembentukan negara dan kemerdekaan Indonesia.

Di tengah arus globalisasi yang sangat cepat, santri harus tetap menjadi penjaga tradisi dan nilai-nilai keagamaan. Pesantren mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang mengakar pada ajaran Islam, seperti kesederhanaan, keikhlasan, dan kebersamaan. Nilai-nilai ini akan tetap dijaga dan dilestariakan secara turun-temurun.

Namun, tantangannya adalah bagaimana santri saat ini mampu mempertahankan nilai-nilai tersebut di tengah perkembangan teknologi dan modernisasi yang begitu pesat.

Contohnya, santri di era milenial tidak lagi hanya mengaji kitab kuning, tetapi juga dituntut mampu memahami sains dan teknologi. Banyak pondok pesantren yang telah mengintegrasikan sains dan teknologi dalam metode pembelajarannya, seperti menggunakan media digital untuk mempelajari kitab klasik, menyebarkan dakwah melalui media sosial, dan mengelola pesantren secara profesional dengan sistem berbasis IT. Ini menunjukkan bahwa santri tetap mampu menjaga tradisi, tetapi dengan menggunakan cara yang relevan dengan kondisi zaman.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan