Berita kekerasan yang terjadi di lingkungan pondok pesantren akhir-akhir ini semakin marak. Harus dibangun ekosistem pendidikan yang ramah anak di lingkungan pesantren agar proses lahirnya generasi emas tidak terganggu.
Sebenarnya, tidak perlu heran jika berita kasus kekerasan di pesantren cepat tersebar, karena memang demikian prinsip media; bahwa semakin unik suatu isi berita maka semakin dilirik oleh orang-orang.
Fenomena ini juga menunjukkan bahwa maraknya kekerasan di pesantren adalah hal yang unik, aneh, dan mengherankan. Mengapa tidak—pesantren adalah suatu lembaga pendidikan keagamaan yang sejak ia berdiri mendeklarasikan dirinya sebagai tempat yang aman. Lingkungan dengan suasana yang religius membuat orang-orang menilai bahwa pesantren adalah surga, tak ada orang jahat.
Dari itu, sebagian orang menilai bahwa kasus kekerasan yang terjadi di pesantren itu tidak seharusnya diberitakan, cukup dilaporkan dan ditindak saja. Alasannya adalah bahwa hal tersebut membuat orang-orang menilai bahwa pesantren itu buruk tanpa terkecuali. Generalisasi demikian tentu bukan hal yang dibenarkan.
Jika kita coba bandingkan antara pesantren dan lembaga pendidikan lainnya, maka bisa disimpulkan bahwa faktor pendorong munculnya kekerasan pada anak itu lebih banyak di pesantren.
Pesantren memiliki intensitas interaksi selama 24 jam. Di dalamnya juga terdapat para santri yang berangkat dari identitas dan asal lingkungan yang berbeda-beda. Intensitas interaksi antara orang-orang inilah yang rentan menyebabkan konflik atau gesekan.
Ditegaskan oleh Hotifah (2015) bahwa efek positif akan muncul bila santri memiliki kedekatan dengan teman yang memiliki sikap dan perilaku positif. Sebaliknya, efek negatif akan muncul jika santri membangun kedekatan dengan santri yang berperilaku negatif. Dan ini tidak terdapat pada lembaga pendidikan selain pesantren.
Kurangnya kemampuan mereka dalam menjamin keselamatan sendiri, di satu sisi, dan prioritas pendidikan yang ditargetkan dalam mereproduksi generasi yang layak. Di sisi lain, juga berperan dalam munculnya kekerasan. Pasalnya, idealitas dalam rancangan akademik memaksa santri untuk melakukan hal tidak biasa. Rasa keterpaksaan dari salah seorang oknum memungkinkan melahirkan tindakan kekerasan pada yang lain.