Di Kabupaten Karangasem, Bali, terdapat dua makam yang dikeramatkan oleh masyarakat muslim dari berbagai daerah, tapi juga oleh warga Hindu Bali. Orang menyebutnya makam kembar keramat. Diyakini, keduanya adalah makam Maulana Yusuf al-Baghdi al-Maghribi dan Ali bin Zaenal Abidin al-Idrus, dua ulama penyebar agama Islam di Bali, khususnya di wilayah Karangasem.
Dua makam kembar keramat tersebut memiliki titi mangsa yang berbeda. Berdasarkan cerita-cerita lisan yang beredar di masyarakat, salah satunya merupakan makam kuno, yang diperkirakan sudah berusia 350-400 tahun. Makam kuno ini dipercaya sebagai makamnya Syekh Maulana Yusuf al-Baghdi al-Maghribi, salah satu dari Wali Pitu, tujuh ulama penyebar Islam di Pulau Dewata.
Namun, siapa sebenarnya Syekh Maulana Yusuf al-Baghdi al-Maghribi ini benar-benar masih gelap. Tak ada catatan sejarah mengenai siapa nama aslinya, dari mana asal usulnya, dan sejarahnya masuk ke Bali. Bahkan, juru kunci makam pun sama tak tahunya dengan para penziarah.
Yang masih segar dalam ingatan kolektif masyarakat, ketika terjadi letusan dahsyat Gunung Agung pada 1963, yang mengeluarkan lahar panas, menyemburkan jutaan batu besar dan kecil serta abu yang menjulang tinggi di angkasa, menyebar ke seluruh Pulau Bali, bahkan sampai ke wilayah Jawa Timur, makam kuno itu bergeming, tak tersentuh apa pun. Padahal, banyak desa luluk lantak, porak poranda. Pohon-pohon besar bertumbangan. Bangunan dan gedung-gedung yang kokoh hancur tertimbun batu dan pasir.
Bagaimana dengan makam kuno itu, yang letaknya jauh dari Gunung Agung? Seperti dlindungi keajaiban atau mukjizat, tak sebutir pun batu kerikil dan pasir menyentuh, atau jatuh, di atas makam kuno itu. I tetap kukuh dan anggun, jauh dari reruntukan. Itulah bukti yang memperkuat kekeramatan makam kuno ini.
Jika jejak sejarah Syekh Maulana Yusuf al-Baghdi al-Maghribi sangat minim, berbeda dengan juru kunci makam pertamanya, Habib Ali Zainal Abidin al-Idrus. Habib Ali Zainal Abidin al-Idrus dikenal sebagai ulama besar yang arif dan bijaksana. Bermukim di Karangasem, ia mengajar kepada banyak santri yang datang tak hanya daerah Bali, tapi juga dari Lombok, Nusa Tenggara Barat.