MEMBACA IBU
Ibu adalah kitab suci yang tak pernah khatam dibaca
pelukannya menjelma ayat-ayat suci baka
jantungnya menjelma air,
mengalir hikmah-hikmah
yang sengaja menyamar rupa

Ibu adalah kitab suci yang tak pernah khatam dibaca
Lembar mantra doanya tak habis dieja
Dari mulut kecil
yang merindu telapak surganya
Ibu adalah kitab suci yang tak pernah khatam dibaca,
meski ia t’lah mewangi bersama suar dupa
dalam rahim bentala.
Malang, 8 Desember 2025.
RUPA-RUPA IBU
Pagi yang harum
Ibu serupa aroma oseng kangkung
Dan tempe goreng, mengepul di atap subuh.
Pada lengan kaosnya,
Tersisa asap yang mengikat
Benang harap
Bagi kosong perut keluarga.
Pagi yang merdu
Serak dedaunan gugur
Dari langit-langit pohon
Tepat di depan halaman rumah.
Kursi kosong, meja bundar
Tanpa secangkir teh manis.
Dari depan kanopi,
ibu telah menjadi pagi yang disiangkan
genggam tangannya erat
memegang sulbi lidi
kakinya menari-nari
di antara serak dedaunan pagi
sambil memungutinya
sembari menyanyikan lagu “kasih ibu”
mengenang masa lalu
Ketika ia masih punya ‘ibu’
Senja di mata ibu
Mata ibu menjelma senja
Yang memenuhi cakrawala rumah
Di depan tungku api, ibu menyimpan
Cita-cita anaknya
Dihangatkan pada kursi empuk kecil
Sembari membakar singkong
Dari peluh bapak.
Malam yang sunyi
Ketika sore menjelma malam
Ibu serupa riuh dalam diam
Lirih munajat merupa tembang mantra
Sejak itu, kutakpernah benar menutup mata
Pada kalam ibu yang menganga
di seluruh purnama.
Diam-diam, kubalas dalam kotak surat
Yang kutulis pada Tuhan.
“Ia serupa musim yang tak dapat diganti.”
Malang, 23-34 Oktober 202.
