Di ujung sawah yang hening, dari sebuah rumah, perempuan itu memekik hebat, tidak kalah kerasnya dengan suara hujan yang turun malam ini. Beradu dengan suara halilintar, seorang wanita mengerang hebat, seakan menyaingi suara gemuruh hujan itu. Suasana begitu hening, sontak bersambut dengan suara makhluk ciptaan Tuhan yang hadir ke dunia malam itu.
“Siapa namanya?”
“Abdullah Cekka.”
Bocah itu merengek, menggeliat dalam balik bedong induknya. Saat seberkas cahaya mengintip dari celah atap rumah, wanita itu tertegun melihat mata anaknya.
Sangat cekatan kakinya di ujung bibir sungai. Bermain di kebun duku yang berjejer rapi di sekitaran anak sungai Batanghari, kaki mungilnya tidak pernah lelah untuk berlari. Tetapi, suasana awan di hatinya berbeda. Sebabnya, Abdullah Cekka sering mengalami perundungan karena matanya yang berbeda dari anak-anak lainnya.
Akibatnya, dia urung bertemu dengan teman sebayanya. Mengurung diri di rumah, sibuk bermain gundukan abu kompor. Mencoretkan arangnya, dia meniru kumis bapaknya. Dia tertawa, dan menebalkannya lagi. Ibu berdiri di depan dapur malah heran melihat bocah gundul itu, senang di rumah, dan jarang main ke sungai lagi.
Ibu cepat menangkap tangan Cekka sebelum wajahnya berpupur penuh dengan arang. “Hap, jangan lagi ya”. Bocah itu berlari, cepat saja diapit induknya. Ketika membasuh wajah Cekka, ibu mulai bertanya.
“Dak Maen ke sunge Nak?” ibunya bertanya ke Cekka, sambil sesekali membasuh wajah bulat anaknya itu
“Dak Mak,” jawab Cekka, terbata-bata saat ibu menggosok wajahnya dengan air.
Cekka selalu berada di rumah. Setahun lebih berselang tidak membaur dengan teman sebayanya. Keluar rumah jika menemani ibu menjual sekam di Pasar Angsoduo, dan saat memanen duku berjatuhan di sekitaran sungai. Cekka berlari, mengumpulkan duku, lalu bersembunyi lagi saat teman-temannya melintas di kebun.
“Dipanggil apo dengan kanti-kanti kau, ya?” bapaknya menegur Cekka. Cekka tertegun, mulutnya makin masam mengunyah jeruk saat mendengar bapaknya. Dia pura-pura tuli. Cekka melihat bapaknya, terdiam, matanya berkaca-kaca, menggeliat hebat, mencoret bibir bapaknya dengan arang. Cekka berlari, bapak menangkapnya cepat, terkekang sejenak, kemudian meronta lagi. Cekka menangis sejadi-jadinya siang itu.