Agama, sebagai landasan moral dan spiritual bagi manusia, selalu menjadi bagian penting dalam kehidupan. Namun, seiring berkembangnya zaman, agama juga tak lepas dari cengkeraman kapitalisme. Kini, agama tak hanya berfungsi sebagai panduan hidup, tetapi juga menjadi ladang bisnis yang menggiurkan dan mendatangkan banyak cuan.
Fenomena bisnis agama tidak bisa diabaikan, karena kenyataannya, pasar spiritual ini berkembang dengan pesat. Di balik kesederhanaan ajaran agama, ada pihak-pihak yang melihat peluang besar untuk memonetisasi keyakinan dan praktik keagamaan.
Salah satu contohnya adalah bisnis produk-produk yang diberi label ‘islami’ atau halal atau ‘berkaitan dengan agama’. Kita dapat melihat banyak produk yang dijual dengan embel-embel agama untuk menarik perhatian konsumen.
Salah satu produk yang menarik perhatian adalah garam ruqyah, sebuah produk yang didoakan untuk tujuan spiritual dan dipercaya dapat mengusir jin atau energi negatif.
Harga garam ruqyah di pasaran bisa mencapai Rp 30 ribu per 275 gram. Angka yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan harga garam dapur biasa yang hanya beberapa ribu rupiah per kilogram. Dengan harga tersebut, produk seperti garam ruqyah mampu menciptakan margin keuntungan yang sangat besar.
Fenomena bisnis agama seperti ini mencerminkan betapa menguntungkannya memadukan spiritualitas dengan ekonomi. Konsumen, yang sering kali didorong oleh rasa takut akan hal-hal gaib atau ingin lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, rela merogoh kocek dalam untuk membeli produk yang dijanjikan memiliki efek spiritual. Hal ini menandakan bahwa aspek emosional dan spiritual sangat efektif dalam menciptakan permintaan yang stabil di pasar.
Selain produk fisik seperti garam ruqyah, berbagai layanan juga dipasarkan dengan klaim-klaim spiritual yang sejalan dengan ajaran agama. Sebut saja layanan ruqyah itu sendiri, yang pada dasarnya adalah praktik eksorsisme dalam Islam.