Agamaku adalah Air: Makna Religiusitas di Tengah Bising Tafsir

Di tengah dunia yang hiruk-pikuk oleh tafsir, doktrin, dan klaim kebenaran absolut, kata-kata sastrawan Joko Pinurbo seolah menyuguhkan ketenangan: “Agamaku adalah air yang menghapus pertanyaanmu.”

Kalimat itu tidak hanya puitis, tetapi menyimpan kedalaman makna spiritual yang dapat membuka ruang refleksi atas cara kita memahami agama, terlebih di zaman ketika agama bukan hanya menjadi sistem keyakinan, tetapi sering kali dikomodifikasi menjadi alat identitas sosial dan politik.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Agama, Medsos, dan Krisis Tafsir

Søren Kierkegaard, filsuf eksistensialis Denmark, pernah menyatakan bahwa manusia memiliki tiga tahap kesadaran: estetis, etis, dan religius. Puncaknya adalah kesadaran religius, yaitu saat manusia tidak lagi hanya mencari kesenangan atau bertindak moral, tetapi mulai mencari hubungan eksistensial dengan sesuatu yang transenden. Namun di zaman ini, banyak dari kita telah “beragama” pada media sosial—menyembah algoritma, menggantungkan validasi pada likes dan komentar.

Kondisi ini membuat pengalaman keagamaan kita kerap kali tidak lebih dalam daripada unggahan-unggahan singkat di timeline. Agama dipertontonkan, bukan dihayati. Di sinilah relevansi puisi Joko Pinurbo mencuat. Air dalam metafora puisinya menyimbolkan ketenangan, kejernihan, dan kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap bentuk ruang. Beragama seharusnya menenangkan, bukan malah memperkeruh keadaan sosial.

Pluralisme dan Keniscayaan Perbedaan

Perbedaan pandangan dalam hal fikih, akidah, dan praksis keislaman di Indonesia bukan hal baru. Kita sering menyaksikan pertentangan antara kelompok konservatif, liberal, bahkan yang radikal. Namun, Al-Qur’an telah memberi landasan yang sangat jelas:

“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (QS Yunus: 99)

Ayat ini menegaskan bahwa pluralisme adalah kehendak Tuhan. Tuhan bisa saja menjadikan semua manusia satu agama dan keyakinan, tetapi Dia memilih keragaman sebagai bagian dari rencana ilahiah-Nya. Maka, intoleransi yang mengatasnamakan agama sejatinya bertentangan dengan prinsip dasar Islam.

Sebagaimana dicatat oleh Abdul Moqsith Ghazali dalam Argumen Pluralisme Agama (2009), pluralisme bukan hanya fakta sosial, tapi juga bagian dari kehendak teologis yang harus diterima sebagai keniscayaan. Tugas kita bukan menyeragamkan, tetapi memahami dan menghargai perbedaan.

Tanda Krisis Pemahaman Keagamaan

Di titik ini, muncul pertanyaan penting: bagaimana jika perbedaan itu menjelma dalam bentuk destruktif seperti radikalisme atau liberalisme ekstrem?

Jawabannya bukan penindasan, melainkan tabligh—penyampaian yang lemah lembut, sebagaimana perintah Allah dalam QS An-Nahl: 125: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik…” (QS An-Nahl: 125)

Agama, dalam penghayatan idealnya, tidak keras—yang kaku justru personalnya. Fanatisme lahir ketika pemahaman agama dibatasi oleh teks dan diabaikan konteksnya. Seyyed Hossein Nasr pernah mengingatkan bahwa banyak kekeliruan dalam memahami agama muncul karena kehilangan kedalaman spiritual dan reduksi pada legalisme semata (Nasr, 1996).

Fanatisme juga muncul saat agama digunakan sebagai identitas kelompok untuk kepentingan kekuasaan. Dalam pandangan Asghar Ali Engineer, agama seharusnya menjadi sumber emansipasi, bukan dominasi (Engineer, 2001).

Agama dan Keagamaan

Satu hal penting yang perlu dipahami adalah bahwa agama dan keagamaan adalah dua hal berbeda. Agama adalah wahyu, ajaran yang suci, sementara keagamaan adalah interpretasi manusia atas agama tersebut. Seperti diungkap oleh Abdolkarim Soroush, agama bersifat tetap, sedangkan pemahaman keagamaan bersifat dinamis dan kontekstual, mengikuti zaman dan kondisi sosial masyarakat (Soroush dalam Wijaya, 2021).

Konflik dalam tubuh umat Islam sering kali bukan karena perbedaan agama, melainkan perbedaan pemahaman keagamaan. Kita tidak sedang bertengkar tentang Islam, tetapi tentang “cara memahami Islam”.

Dalam QS Al-Baqarah: 147, Allah menegaskan: “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang ragu.”

Ayat ini menunjukkan bahwa kebenaran bukan milik kelompok tertentu, bukan pula hasil dari tafsir personal semata. Maka tidak ada alasan untuk merasa paling benar dan menyalahkan yang lain.

Agama dan Kebudayaan

Belajar agama bukan hanya soal hafalan dalil atau menguasai kitab-kitab klasik (turats), tetapi juga memahami konteks sosial, budaya, dan sejarah tempat agama itu hidup. Fazlur Rahman dalam teorinya double movement menjelaskan bahwa tafsir agama harus bergerak dari konteks historis wahyu kepada prinsip universal, lalu kembali ke konteks sosial kekinian (Rahman, 1982).

Sayangnya, kita masih sering gagal menjaga keseimbangan antara teks dan konteks. Kita lebih sibuk menghafal ketimbang merenung, lebih sibuk berdebat ketimbang berdialog. Padahal dalam beragama, refleksi sosial sangat penting untuk menghidupkan nilai-nilai keadilan dan kasih sayang dalam masyarakat.

Agama yang tidak terhubung dengan realitas hanya akan menjadi doktrin beku. Sebaliknya, agama yang mampu menyesuaikan diri seperti air akan memberi kehidupan bagi siapapun yang disentuhnya.

Air: Mengalir dan Menghidupkan

Mengutip metafora Joko Pinurbo dan memodifikasinya, saya menulis: “Dan mengalir, menuju ke hilir, dan menghidupimu.” Kalimat ini menjadi penutup dari seluruh perenungan saya tentang agama. Bahwa beragama bukan soal menang-menangan tafsir, bukan soal siapa yang paling banyak pengikutnya. Tetapi soal siapa yang paling mampu menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan, kasih sayang, dan perdamaian dalam kehidupan.

Seperti air, agama yang sehat akan mengalir menyesuaikan medan, tidak memaksa, tidak membentur, tetapi menyerap dan menghidupkan. Air tidak ribut saat memberi kehidupan. Ia bekerja dalam diam, menyembuhkan, menenangkan, dan menyuburkan.

Maka mari kita kembalikan agama kepada fungsinya yang sejati: sebagai jalan menuju kebaikan, bukan ajang adu superioritas tafsir. Sebab agama, ketika dijalani dengan ketulusan dan kesadaran spiritual, akan menjadi air yang menjernihkan segala yang keruh—termasuk dalam hati dan cara pandang kita.


Daftar Pustaka:

  • Al-Qur’an al-Karim.

  • Abdul Moqsith Ghazali. (2009). Argumen Pluralisme Agama: Membaca Pluralisme dalam Islam. Jakarta: Kata Kita.

  • Engineer, Asghar Ali. (2001). Islam in Contemporary World. New Delhi: Sterling Publishers.

  • Nasr, Seyyed Hossein. (1996). Religion and the Order of Nature. Oxford: Oxford University Press.

  • Rahman, Fazlur. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

  • Wijaya, Aksin. (2021). Epistemologi Islam Progresif: Membaca Gagasan Hermeneutik Soroush. Yogyakarta: IRCiSoD.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan