Arus perkembangan Kecerdasan Buatan (AI) telah bergeser dari narasi linear kemajuan teknologi ke dalam wilayah eksistensial yang lebih gelap dan lebih kompleks. Ia kini tidak bisa kita katakan sebagai alat, namun telah menjadi karib dekat dan penantang. Dan, yang paling mengganggu, ia menjadi bagai sebuah cermin yang memantulkan kembali gambaran kita sendiri —namun dengan distorsi yang menimbulkan pertanyaan mendasar.
Lompatan fenomenal ini, dari mengeksekusi tugas sederhana hingga kemampuannya untuk menulis puisi, membuat kode, dan meramalkan masa depan, menyentuh inti paling mendasar dari pertanyaan “apa hakikatnya menjadi manusia?”

Perjalanan ini memaksa kita untuk melakukan audit epistemologis terhadap konsep-konsep yang kita pegang teguh: kesadaran, intelegensi, agensi, dan makna. Dengan demikian, AI tidak hanya merevolusi industri; ia juga dapat merevolusi cara kita memandang diri kita sendiri dalam jagat raya, memancing sebuah refleksi yang mendesak dan penuh paradoks mengenai apakah kognisi manusia masih merupakan benteng yang unik atau hanya sebagai algoritma biologis kompleks yang sedang dalam proses direplikasi.
Titik Akal Budi
Pada tingkat permukaan, keserupaan antara manusia dan AI tampak paling jelas dalam pendefinisian sebagai agen rasional. Seperti halnya yang dirumuskan oleh Stuart Russell dan Peter Norvig, AI pada hakikatnya adalah sebuah sistem yang beradaptasi dengan lingkungannya dan mengambil tindakan untuk memaksimalkan peluang kesuksesan dalam mencapai tujuannya. Ini merupakan definisi yang elegan karena kesederhanaannya dan kemiripannya yang mencolok dengan model ekonomi klasik tentang manusia sebagai homo economicus —makhluk rasional yang membuat keputusan yang mengoptimalkan keuntungannya sendiri.
Sebagai teknologi bot percakapan, AI modern mengoperasionalkan keagenan rasional ini dengan cara yang luar biasa. Ia tidak hanya terbatas pada obrolan-obrolan ringan; dengan prompt yang tepat, ia juga dapat mensintesis berbagai informasi dari ribuan sumber, menghasilkan solusi tertulis yang koheren, dan menawarkan strategi bisnis, serta bahkan memberikan konseling dasar.
Dengan kemampuannya memproses permintaan dalam bahasa natural dan merespons dengan bahasa yang sama, membuat interaksinya terasa sangat manusiawi. Inilah sumber dari ilusi kecerdasan —sebuah ilusi yang begitu meyakinkan sehingga batas antara percakapan dengan manusia dan mesin mulai semakin kabur.