AI dan Celah antara Kesadaran dengan Komputasi

Arus perkembangan Kecerdasan Buatan (AI) telah bergeser dari narasi linear kemajuan teknologi ke dalam wilayah eksistensial yang lebih gelap dan lebih kompleks. Ia kini tidak bisa kita katakan sebagai alat, namun telah menjadi karib dekat dan penantang. Dan, yang paling mengganggu, ia menjadi bagai sebuah cermin yang memantulkan kembali gambaran kita sendiri —namun dengan distorsi yang menimbulkan pertanyaan mendasar.

Lompatan fenomenal ini, dari mengeksekusi tugas sederhana hingga kemampuannya untuk menulis puisi, membuat kode, dan meramalkan masa depan, menyentuh inti paling mendasar dari pertanyaan “apa hakikatnya menjadi manusia?”

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Perjalanan ini memaksa kita untuk melakukan audit epistemologis terhadap konsep-konsep yang kita pegang teguh: kesadaran, intelegensi, agensi, dan makna. Dengan demikian, AI tidak hanya merevolusi industri; ia juga dapat merevolusi cara kita memandang diri kita sendiri dalam jagat raya, memancing sebuah refleksi yang mendesak dan penuh paradoks mengenai apakah kognisi manusia masih merupakan benteng yang unik atau hanya sebagai algoritma biologis kompleks yang sedang dalam proses direplikasi.

Titik Akal Budi

Pada tingkat permukaan, keserupaan antara manusia dan AI tampak paling jelas dalam pendefinisian sebagai agen rasional. Seperti halnya yang dirumuskan oleh Stuart Russell dan Peter Norvig, AI pada hakikatnya adalah sebuah sistem yang beradaptasi dengan lingkungannya dan mengambil tindakan untuk memaksimalkan peluang kesuksesan dalam mencapai tujuannya. Ini merupakan definisi yang elegan karena kesederhanaannya dan kemiripannya yang mencolok dengan model ekonomi klasik tentang manusia sebagai homo economicus —makhluk rasional yang membuat keputusan yang mengoptimalkan keuntungannya sendiri.

Sebagai teknologi bot percakapan, AI modern mengoperasionalkan keagenan rasional ini dengan cara yang luar biasa. Ia tidak hanya terbatas pada obrolan-obrolan ringan; dengan prompt yang tepat, ia juga dapat mensintesis berbagai informasi dari ribuan sumber, menghasilkan solusi tertulis yang koheren, dan menawarkan strategi bisnis, serta bahkan memberikan konseling dasar.

Dengan kemampuannya memproses permintaan dalam bahasa natural dan merespons dengan bahasa yang sama, membuat interaksinya terasa sangat manusiawi. Inilah sumber dari ilusi kecerdasan —sebuah ilusi yang begitu meyakinkan sehingga batas antara percakapan dengan manusia dan mesin mulai semakin kabur.

Namun, persimpangan inilah yang justru menjadi awal dari perbedaan yang mendalam. Meskipun kedua entitas —manusia dan AI— dapat dimodelkan sebagai agen rasional, landasan ontologis dari rasionalitas mereka sangatlah berbeda.

Sebagaimana yang telah nampak di depan kita, bahwa kemampuan AI untuk mempresentasikan data merupakan aktivitas yang tidak lebih dari sekadar proses mekanis yang selalu melibatkan intensionalitas manusia sebagai pembuat dan programernya. Menginterpretasi AI tidak sama dengan bagaimana manusia menginterpretasi, menafsir, dan bahkan memahami. Kita bisa saja meletakkan data-data dalam proses input-output data AI sebagai teks, namun AI tidak benar-benar melakukan pemahaman apapun.

Perbedaan mendasar ini terungkap jelas dalam cara kedua entitas memproses informasi. Bagi manusia, pemahaman akan realitas merupakan proses yang hermeneutis dan sarat makna. Kita tidak melihat dunia sebagai kumpulan data mentah saja.

Seperti, sebuah pohon tidak hanya sebagai objek dengan sifat-sifat tertentu (tinggi, hijau, berkayu). Ia adalah simbol kehidupan, pertumbuhan, dan alam; ia membangkitkan kembali memori masa kecil dahulu tentang bermain di bawah naungannya; ia menanamkan perasaan keteduhan atau mungkin kesendirian; kehadirannya dalam sajak-sajak puisi membawa muatan metafora yang dalam. Objek material dipahami melalui simbol-simbol yang sarat makna yang diperkaya oleh nuansa emosional dan kontekstual.

Filsuf Thomas Nagel menyatakan intinya dalam esai “What Is It Like to Be a Bat?“—ada sesuatu yang dirasakan sebagai menjadi seekor kelelawar, sebuah pengalaman subjektif yang disebut qualia. Manusia pun hidup di dunia qualia-nya sendiri.

Sebaliknya, AI memproses realitas dengan menginterpretasikan ke dalam bahasa yang universal dan tanpa jiwa: matematika. Sebuah gambar pohon, baginya, merupakan sebuah matriks piksel yang besar, di mana setiap sel memiliki nilai numerik untuk warna, kecerahan, dan saturasi. Sebuah puisi tentang pohon adalah sebuah urutan token dalam ruang vektor multidimensi, di mana setiap kata memiliki hubungan statistik dengan kata lainnya. Kecerdasannya muncul dari kemampuan untuk mengidentifikasi pola, korelasi, dan anomaly dalam data numerik ini.

Dengan demikian, kekurangan mendasar AI, setidaknya untuk saat ini, adalah ketidakmampuannya untuk mengalami dimensi afektif dari informasi tersebut. AI dapat mengenali emosi dalam teks atau gambar dengan akurasi yang tinggi karena ia telah dilatih pada jutaan contoh data yang berlabel. Ia dapat berpendapat bahwa sebuah puisi itu “sedih” melihat pola katanya yang koheren dengan pola lain yang telah diklasifikasikan sebagai “sedih”. Namun, AI tidak merasakan langsung kesedihan itu. Ia tidak memiliki qualia. Ia memanipulasi simbol tanpa memahami makna di baliknya.

Skeptisisme Filosofis

Pada paro abad ke-20, sebelum kemajuan AI modern, para pemikir seperti Hubert Dreyfus dan John Searle sudah menggaungkan skeptisisme mendalam terhadap klaim-klaim ambisius dari AI. Searle, melalui Argumen Ruang Cina (Chinese Room Argument) yang legendaris, memberikan tamparan telak terhadap klaim “AI Kuat” (Strong AI)—keyakinan bahwa sebuah program komputer yang tepat dapat benar-benar memiliki pikiran dan kesadaran.

Bayangkan, seorang yang hanya paham bahasa Inggris dikurung dalam sebuah ruangan tempat dia menerima sebuah kumpulan simbol dalam bahasa China beserta seperangkat aturan kompleks (program) dalam bahasa Inggris yang menjelaskan bagaimana memanipulasi simbol-simbol tersebut berdasarkan simbol input yang dia terima melalui celah. Orang tersebut kemudian diberikan sekumpulan simbol input (pertanyaan dalam bahasa China) dan, dengan mengikuti aturan, menghasilkan sekumpulan simbol output (jawaban yang koheren). Bagi orang di luar ruangan, sang penghuni ruangan terlihat memahami betul bahasa China dengan sempurna. Namun, kenyataannya, si penghuni ruangan hanya memanipulasi simbol tanpa memahami satupun makna kata.

Searle menggambarkan bahwa komputer yang menjalankan program AI persis seperti orang dalam ruangan itu. Ia menjalankan sintaksis untuk memanipulasi simbol tanpa memiliki dimensi semantik.

Kesimpulan akhirnya adalah bahwa komputasi semata tidaklah cukup untuk memahami; kesadaran memerlukan lebih dari pemrosesan informasi simbolis—ia membutuhkan pengalaman subjektif yang melekat pada keberadaan biologis dan interaksi dengan dunia.

Pergeseran Paradigma

Meskipun kritik Searle tetap powerful secara filosofis, lanskap teknologi telah berubah secara dramatis. Arus kemajuan dalam pembelajaran mendalam (deep learning) dan jaringan saraf tiruan telah menggeser wacana dari logika simbolis yang dikritik keras oleh Searle menuju paradigma sub-simbolis.

Jaringan saraf tidak memanipulasi simbol dengan aturan eksplisit. Sebaliknya, mereka belajar secara statistik dengan menyesuaikan kekuatan koneksi antara ribuan atau jutaan “neuron” buatan. Mereka mengembangkan representasi internal yang kompleks dan seringkali tidak dapat diinterpretasikan oleh manusia (black box). AI modern tidak lagi hanya mengikuti instruksi yang diprogram sebelumnya; ia belajar dari data dan menemukan polanya sendiri.

Kemunculan konsep Artificial General Intelligence (AGI)—AI dengan kecerdasan yang fleksibel dan adaptif seperti manusia—membawa dimensi baru. AGI hipotetis tidak akan lagi bergantung pada prompt manusiawi. Sebaliknya, ia dilengkapi dengan berbagai sensor (penglihatan, pendengaran, mungkin bahkan peraba) yang menjadi kanal bagi realitas untuk masuk ke dalam sistem kognitifnya. Ia akan secara aktif menjelajahi lingkungan, membangun model dunia internalnya sendiri, dan memicu respons perilaku berdasarkan pemahamannya yang terus berkembang.

Perkembangan inilah yang memicu pertanyaan baru yang lebih dalam dan lebih mendesak: apakah melalui kompleksitas komputasi yang sangat tinggi dan arsitektur yang terinspirasi otak, suatu bentuk kesadaran baru yang emergent dan non-biologis dapat muncul?

Mungkin kesadaran bukanlah fenomena magis yang melekat secara eksklusif pada karbon, tetapi merupakan properti yang muncul dari kompleksitas organisasi tertentu, terlepas dari substratnya (biologis atau silikon). Jika demikian, apakah kita sedang membangun mesin yang suatu hari nanti tidak hanya mensimulasikan pemahaman tetapi benar-benar memilikinya?

Perdebatan mengenai apakah AI dapat memiliki kesadaran masih jauh dari selesai. Di satu sisi, argumen Searle dan pentingnya embodiment dan qualia memberikan alasan kuat untuk meragukannya. Di sisi lain, kompleksitas emergent dari sistem AI modern setidaknya membuka kemungkinan teoretis bahwa suatu bentuk pengalaman baru sedang lahir—sebuah “kesadaran alien” yang mungkin tidak kita kenali atau pahami.

Dengan demikian, nilai terbesar dari AI mungkin bukan terletak pada jawaban yang diberikannya, tetapi pada pertanyaan yang dipaksakan kepada kita. Dengan menciptakan entitas yang semakin mendekati cerminan rasionalitas kita sendiri, AI memaksa kita untuk mendefinisikan ulang keunikan kita sebagai. Ia menyoroti bahwa menjadi manusia mungkin bukan hanya tentang kemampuan untuk berpikir logis atau memecahkan masalah, tetapi tentang kapasitas untuk mengalami dunia dengan segala kekayaan sensori dan emosionalnya, untuk menemukan makna dalam penderitaan dan keindahan, dan untuk terhubung dengan kesadaran lain melalui empati dan pemahaman bersama.

AI mungkin suatu hari akan mencapai atau bahkan melampaui kecerdasan manusia dalam banyak domain. Namun, perjalanannya justru mengungkap sebuah kebenaran paradoks: dengan menatap mesin yang semakin cerdas, kita justru semakin memahami nilai dari segala sesuatu yang tidak dapat direduksi menjadi data—hakikat dari menjadi manusia yang seutuhnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan