Dalam kumpulan karangan KH Hasyim Asy’ari yang diterbitkan Pondok Pesantren Tebuireng (1992), salah satu bagiannya memuat nasihat KH Hasyim yang berjudul Al-Mawaa‘idz. Bagian ini merupakan bagian penutup dari dua bagian lainnya, yakni Qanun Asasi Lil Jam’iyyah Nahdlatul Ulama dan Pidato Beliau di Muktamar 1932 Surabaya.
Yang unik dari nasihat beliau adalah, alih-alih menasihati soal pentingnya rajin beribadah, atau memuliakan simbol agama lebih dulu, justru menasihati tentang bahaya perpecahan. Penggalan awal dari Al Mawaa‘idz bunyinya begini:
“Faqod balaghoni anna baynakum ilal an isyti ‘ala naarol fatani wal munaaza’ati, fata ammaltu sababa dzalika, fahuwa maa ‘alayhi ahlu haadzal zamaani annahum baddaluu wa ghayyaruu kitaballahi wa sunnata rasulullahi shollallhu ‘alayhi wasallam.
Qola ta’aala: ‘innamal mu’ minuuna ikhwatun fa ashlihuu bayna akhwaykum.’ Wahum ja’aluhum a’daa an walam yushlihuu-hum, bal afsaduu-hum.”
“Telah sampai kepada saya bahwa di antara kalian hingga saat ini masih berkobar api fitnah dan pertikaian. Maka saya pun berpikir secara mendalam tentang sebab-sebab timbulnya masalah tersebut. Ternyata, penyebabnya ialah perilaku yang kini banyak dilakukan orang-orang di zaman ini, yakni mereka telah mengubah (pengertian) dan mengganti (pemahaman) terhadap kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya.
Allah berfirman: ‘sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, (karena itu bila timbul pertikaian di antara mereka), maka berusahalah kalian untuk mendamaikan di antara kedua saudara kalian itu.’” Mereka ternyata justru menjadikan sesama saudaranya sebagai musuh, mereka bukannya mendamaikan, melainkan justru (mengipasinya agar permusuhan makin meruncing), sehingga akhirnya menimbulkan kerusakan kepada sesama saudara.”
Ketika pada zamannya KH Hasyim, nasihat itu mungkin tidak lain didorong oleh Wahabisme yang baru saja masuk ke Indonesia, ditambah pula oleh gerakan Islam modern yang waktu itu juga sedang mulai bersemarak. Secara prinsipil, sekilas situasi zaman yang dihadapi KH Hasyim dan kita sekarang tidak jauh berbeda, namun ada perbedaan kontras dalam hal sofistikasinya.
Dulu, makna “mengubah pengertian” dan “mengganti pemahaman” tidak lain ditujukan sebatas pada manusia. Artinya, memang benar bahwa upaya redefinisi Islam, baik ranah simbol, substansi, ataupun aplikasinya telah terjadi sejak zaman KH Hasyim. Masalah ini menjadi kepedulian tersendiri bagi KH Hasyim.
Di bagian Qanun Asasi dan pidatonya di Muktamar Surabaya, atau bahkan di kitabnya (Risalah Ahlussunnah wal Jamaah), KH Hasyim sangat menekankan tentang pentingnya kedisiplinan metode saintifik di balik pendapat ataupun perilaku beragama, misalnya seperti: keketatan berbahasa Arab, ketajaman mantiq, melakukaan penelaahan pendapat mu’tabaroh terdahulu, mengikuti mazhab, memiliki wawasan social, dan memiliki teknik ijtihad yang memadai.
Tentu ekstraksi dan perilaku agama yang dihasilkan dari proses yang tak menggunakan metode dapat ditebak kualitas luarannya. Oleh karena itu, sepertinya, gugatan KH Hasyim terhadap upaya redefinisi tersebut bukan karena minimnya toleransi terhadap perbedaan pendapat, namun lebih karena kekhawatirannya terhadap dampak yang ditimbulkan dari pendapat-pendapat yang dihasilkan tanpa metode yang bisa dipertanggungjawabkan.
Pertikaian dan api fitnah tidak lain merupakan risiko yang disebabkannya, di samping penyebab lain seperti bersemaraknya politisasi agama, yang saat itu (di era awal abad ke-20) muncul perbedaan kontras antara Islam sebagai laku hidup yang adaptif terhadap kelokalan masyarakat, dan Islam sebagai gerakan politik yang menyeragamkan masyarakat.
Yang pertama, cenderung lebih cair dan lentur. Sedangkan yang belakangan disebut cenderung sebaliknya karena ada tuntutan “formal” yang perlu dipenuhi. Dengan kata lain, upaya “mengganti pengertian” dan “mengubah pemahaman” tidak lain merupakan salah satu teknik yang sering dilakukan oleh Islam politik karena adanya keuntungan yang bisa didapatkan dari adanya pertikaian dan api fitnah.
Meski masih tetap dengan prinsip yang sama, tapi situasi tersebut berubah drastis di era digital saat ini. Kini upaya “mengubah pengertian” dan “mengganti pemahaman” tidak hanya dilakukan oleh manusia, tetapi juga oleh algoritma media sosial.
Isi materi agama dan susunan/urutannya menjadi kata kunci utama. Di pesantren, seseorang diajarkan materi sesuai metode yang bisa dipertanggungjawabkan dan urutannya diberikan berdasarkan kualifikasi jenjang yang telah ditentukan oleh kurikulum.
Dalam gerakan Islam politik tertentu, seseorang diajarkan materi yang lepas dari tanggung jawab, metode, dan urutannya diberikan berdasarkan agenda setting atau framing tertentu.
Di media sosial, algoritma memberikan materi yang sekilas terlihat acak namun sebenarnya merupakan hasil dari pantulan preferensi beragama kita. Materi agama tak tentu arah, dan urutannya terpersonalisasi, yang pada gilirannya dapat mengantarkan seseorang pada kesimpulan-kesimpulan yang kadang bisa mengeraskan kepercayaan kita, atau bahkan yang tak terduga sekalipun.
Hal ini ditimbulkan dari beberapa faktor. Pertama, kompetisi antar-golongan Islam di Internet umumnya dan di media sosial khususnya semakin intens. Kedua, kebutuhan agama dan hasrat partisanship yang juga menguat di kalangan masyarakat saat ini. Ketiga, masih belum optimalnya literasi digital, khususnya yang berkaitan dengan praktik konsumsi informasi agama, sebagai kemampuan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui pembelahan dan kesimpulan-kesimpulan tak terduga yang disebabkan oleh algoritma, pertikaian dan api fitnah dapat semakin menyala. Repotnya, sering kali hal ini bermuara pada timbulnya perasaan “lebih bermoral” dibanding orang lain. Padahal, masalah utamanya terletak pada absennya metode yang bisa dipertanggungjawabkan, bukan pada diri orang lain itu sendiri.
Oleh karena itu, seberbeda apa pun pendapatnya, yang harusnya dikritik adalah substansi argumennya, bukan identitas ataupun persona individunya. Hal ini memang tidak mudah dilakukan karena tren beragama saat ini cenderung mengarah pada praktik menyamakan bahwa perbedaan pendapat adalah sama dengan perbedaan kualitas moral dan keimanan.
Padahal, kualitas moral dan keimanan bukanlah ranah manusia untuk menilai. Manusia hanya berkewajiban memastikan bahwa apa yang ia katakan dan lakukan memiliki dasar yang bisa dipertanggungjawabkan dan tidak memantik pertikaian ataupun api fitnah antarsesama.