Aku dan Pesantrenku (5): Belajar dari Hukuman

70 views

Sebagai santri yang pernah mondok dan mengenyam pendidikan di pesantren selama kurang lebih satu dekade, yakni dari jenjang madrasah tsanawiyah sampai perguruan tinggi, saya merasa banyak sekali nilai-nilai kesantrian yang diajarkan oleh pondok. Misalnya kedisiplinan, atau dalam Islam disebut istikamah.

Kedisiplinan yang diajarkan di pondok pesantren itu misalnya membiasakan para santri salat berjemaah fardhu di awal waktu, budaya mengantre saat mandi, berwudhu dan memasak, mengikuti jam belajar pada jam-jam yang telah ditentukan, membiasakan membuang sampah pada tempatnya, meminta izin kepada pengurus atau pengasuh saat hendak keluar pondok, berkata-kata yang sopan, mengikuti kerja bakti bersama seminggu sekali, membiasakan diri memanggil salam saat hendak masuk dan keluar dari kamar, menutup aurat dari ujung rambut sampai kaki saat hendak keluar kamar, dan masih banyak lagi.

Advertisements

Hal itu tentu mempunyai dampak positif terhadap kehidupanku saat ini, baik dalam kehidupan pribadi sebagai human being yang dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri, atau dalam kehidupan bermasyarakat sebagai social human yang menjaga norma-norma kesusilaan, serta sebagai human learnig yang secara terus menerus belajar dan menempa diri dengan ilmu pengetahuan dan amal, agar memahami filosofi mendalam dari esensi diri sendiri, sehingga menjadi insan kamil (manusia seutuhnya).

Untuk menanamkan sikap disiplin kepada para santri, biasannya pengurus pondok, atas rekomendasi pengasuh, akan menerapkan sanksi-sanksi bagi santri yang melanggar aturan pondok. Hal itu bertujuan  untuk membuat efek jera, yang pada akhirnya akan membuat para santri terbiasa menjalani kebiasaan hidup secara disiplin.

Saya sering diwanti-wanti oleh ayah dan ibu agar selalu patuh terhadap semua peraturan pondok agar ilmu yang aku dapatkan nanti barokah dan manfaat, karena pengasuh atau bu nyai biasanya akan senang kepada santri yang jarang melanggar, sehingga kata ibu, rasa senang guru akan membuahkan ilmu yang diridai oleh guru dan juga oleh Allah.

Oleh karenanya, saya termasuk santri yang jarang terkena takzir atau hukuman karena memegang teguh pesan ibuku itu. Namun yang namanya manusia, yang dalam quotes para ulama, populer dengan “al-insanu mahallul khata’ wan nisyan” (manusia adalah tempat kesalahan dan lupa). Maka, dalam beberapa hal saya bisa lalai, juga menjalani sanksi atau hukuman (takzir).

Sanksi tersebut saya dapatkan ketika tidak “mengejar” salat berjemaah, padahal sudah sejak awal saua mengantre untuk berwudhu. Namun karena air tidak kunjung mengalir, maka saya pun tidak dapat mengikuti salat berjamaah. Saya ingat sekali waktu itu menangis di depan kantor karena harus mengaji surat Al-Mulk, dan ditonton oleh para santri yang lain.

Dalam peraturan di pesantren tempat saya mondok itu, yakni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep daerah Lubangsa Putri, memang sanksi tidak mengikuti salat berjemaah cukup beragam. Misalnya santri yang tidak mengikuti salat berjemaah satu kali, maka sanksinya mengaji surat Yaa Siin atau surat-surat Al-Quran yang lain di depan kantor pesantren. Jika dua kali meninggalkan salat berjemaah, maka sanksinya ialah meminta tanda tangan kepada ketua pengurus, yang biasanya akan dipersulit untuk mendapatkannya.

Sedangkan jika santri meninggalkan salat berjemaah sebanyak tiga kali dalam seminggu maka sanksi terberatnya santri akan diminta untuk melaksanakan salat berjemaah persis di belakang Ibu Nyai selaku pengasuh pondok, selama tiga puluh hari berturut-turut. Jika dalam tiga puluh hari dikurangi masa haid atau menstruasi, maka sisa hari yang ditinggalkannya itu akan dilanjutkan pada saat si santri tersebut telah suci dari masa haid.

Dampak pembiasaan hidup disiplin di pondok, yang saya rasakan saat ini ialah kebiasaan salat di awal waktu dan sebisa mungkin berjamaah, baik di rumah maupun di masjid-masjid saat dalam suatu perjalanan.

Selain itu, kebiasaan hidup disiplin di pesantren, misalnya dalam menggunakan media sosial (social media) di dunia maya secara bijak. Memang, saat saya mondok dulu belum ada media sosial seperti saat ini. Namun kebiasaan tidak mengumbar aurat, tidak mengucapkan dan menulis kata-kata yang merugikan diri sendiri dan orang lain yang bernada kebencian (hate speech), tidak narsis, pamer, dan lain sebagainya saat itu, bisa saya terapkan dalam kehidupan modern saat ini.

Contoh lain yaitu pembiasaan membaca di perpustakaan dan menulis di mading pondok. Yang mana dua kebiasaan tersebut berlanjut hingga saat ini. Sehingga konsistensi membaca dan menulis bagi saya bukanlah hal yang menurut kebanyakan orang melelahkan, tetapi suatu kesenangan yang telah menjadi kebiasaan (habit).

Segala peraturan di pondok pesantren biasanya tidak tebang pilih. Artinya semua santri menjadi khitab atau objek dari peraturan-peraturan tersebut. Sehingga hal itu mengajari dan mendidik para santri bersikap rendah hati (tawadu) atau istilah populernya low profile.  Santri yang mondok memang mempunyai latar belakang status keluarga atau sosial yang berbeda-beda, mulai dari anak konglomerat, anak para tokoh ulama besar, sampai santri yang berkelas menengah ke atas dan menengah ke bawah. Namun di pesantren, semua di perlakukan sama.

Karena itu, meskipun sebagai keponakan pengasuh pondok, saya pun tidak luput dari sanksi-sanksi tersebut. Misalnya, saat secara tidak sengaja ketiduran pada waktu jam belajar, saya pun diberi sanksi membersihkan comberan yang tentunya baunya tidak enak dan kotor, namun mau tidak mau harus dilaksanakan. Meskipun nada sinis muncul dari teman-teman santri lain, karena saya sebagai famili pengasuh tidak sepantasnya melanggar aturan pondok.

Waktu itu, kamar untuk para keponakan atau famili lainnya memang secara khusus dipisah dari kamar-kamar santri yang lain, demikian juga kamar mandi. Namun dalam hal peraturan pondok, Ibu Nyai tidak tebang pilih. Menurut beliau semua santri baik famili atau bukan harus diperlakukan sama.

Hal itu, secara langsung atau tidak, bagi saya mendidik sikap tawadhu serta menyadari akan kekurangan diri, khususnya saya sebagai manusai yang tidak luput dari kesalahan dan dosa, sehingga aku tidak akan merendahkan orang lain.

Contoh lain dari sikap low profile (rendah hati) santri di pesantren yaitu ketika peraturan tentang pembatasan pemakaian perhiasan pada santri putri seperti anting emas, kalung, cincin dan gelang emas.

Dalam hal ini seluruh santri di larang memakai perhiasan tersebut kecuali anting. Hal itu bertujuan agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial di antara sesama santri. Demikian juga dalam hal pakaian, santri di batasi membawa pakaian dengan jumlah banyak, yaitu maksimal sepuluh lembar pakaian, di mana seragam sekolah formal dan baju seragam diniya juga termasuk di dalamnya.

Peraturan tersebut mengajari saya menyadari kesatuan asal usul manusia dengan menunjukkan derajat kemanusiaan manusia, agar kita para santri tidak merasa bangga atau lebih tinggi dari pada yang lain hanya karena perbedaan status sosial.

Selain itu, sikap low profile yang diajarkan di pondok yaitu santri di larang berteriak-teriak atau mengeluarkan suara yang nyaring atau keras, yang mana hal itu identik dengan keangkuhan dan kesombongan. Bahkan jika pada jam 10 ke belakang masih terdapat santri yang mengeluarkan suara nyaring atau berteriak-teriak, maka sanksinya mereka akan mengaji Al-Quran pada esok paginya dengan menggunakan pengeras suara di depan kantor.

Sanksi tersebut cukup membuat malu karena santri-santri yang lain akan menengok ke depan kantor karena penasaran akan suara si santri yang kena takzir tersebut, sehingga santri yang menjalani hukuman tersebut akan ditonton oleh puluhan atau bahkan ratusan santri lainnya, yang terkadang ada yang mengolok-olok dengan candaan yang cukup menyayat hati. Seperti yang pernah saya alami saat ketiduran pada jam belajar.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan