Alfiyah dan Mitos Penghafalnya

3,935 views

Bagi santri, ilmu nahu sudah sangat familiar. Ia biasa dibahas sampai larut malam sambil menikmati hidangan kopi dan rokok (ala Pesantren), atau dikaji dan ditelaah di kelas. Para penghafalnya rela berpuasa sebelum dan sampai sesudah menghafalnya. Banyak pondok pesantren di Nusantara yang menjadikan ilmu nahu sebagai pelajaran pokoknya.

Sebagaimana lazimnya tatanan dalam bahasa yang mempunyai kaidah dan aturan, bahasa Arab pun mempunyai kaidah. Jika dalam bahasa Indonesia ada konsep S-P-O-K (subjek, predikat, objek, keterangan), maka dalam bahasa Arab juga mempunyai fiil-fail, mubtadakhobar, dan lain sebagainya.

Advertisements

Bait-bait Alfiyah disusun menggunakan bahar Rojaz. Umumnya, dari 16 macam bahar dalam ilmu arudh. Bahar Rajaz menempati urutan ketujuh, dan memiliki empat macam bait, yaitu bait tam, majzu, masytur, dan manhuk. Karena itu, Alfiyah mudah untuk diingat dan dihafalkan.

Tak jarang, pondok pesantren di Indonesia mewajibkan bagi seluruh santri yang mondok untuk menghafalkan bait-bait Alfiyah. Sebelum mempelajari Alfiyah, para santri biasanya lebih dulu diajarkan kitab-kitab klasik yang tingkatannya berada di bawah Alfiyah. Tidak berlebihan, karena Alfiyah adalah kitab yang menerangkan tata cara menulis dalam bahasa Arab secara spesifik.

Mungkin pembaca sering mendengar perkataan yang acap kali dibuat bahan candaan oleh para penghafal nadhom Alfiyah, seperti ini: “Jika ada orang yang mengajak debat seputar ilmu nahu kepada orang yang telah hafal Alfiyah, maka jawablah (tantangan itu) dengan huruf keempat dan kelima dari nama asli Alfiyah (Khulashoh); Shoh: diamlah!”

Acap kali santri yang menghafalkan Alfiyah akan ditimpa ujian dan cobaan. Konon, katanya, “Ketika sampai pada bab Jamak Taksir, ada-ada saja cobaanya. Entah muntah darah, kematian keluarga, dan lain sebagainya. Seperti yang penulis (Al-faqir) rasakan ketika menghafalkan Alfiyah, yaitu muntah darah. Anehnya, ketika Al-faqir[1] periksakan dan konfirmasi ke dokter perihal itu, tak ada apa-apa, kata dokter.”

Jika hanya ingin membaca kitab, mungkin Jurumiyyah, Mutammimah, dan Imrithy saja sudah cukup. Karena itu, tak jarang ada pondok pesantren yang hanya mengajarkan Jurumiyyah, atau  Mutammimah, atau Imrithy saja. Tapi, untuk mengarang dan menganalisa tatanan bahasa dalam sebuah litelatur Arab, mungkin memang dibutuhkan Alfiyah.

Di bab pendahuluan (muqoddimah), Ibnu Malik, pengarang Alfiyah, nama aslinya Muhammad Jamaluddin ibn Abdillah ibn Malik Al-Andalusi, telah menjelaskan, “Kitabku ini (Alfiyah) bisa menjelaskan makna yang rumit dengan lafaz yang relatif singkat, juga (mampu menjamin orang yang mempelajarinya) bisa mengurai lafaz kitab kuning.”

Tak heran, banyak dari para ulama, seperti Mbah Kholil Bangkalan, yang menjadikan Alfiyah sebagai dalil fikih sehari-hari. Konon, katanya, jika ada seorang yang bertanya tentang fikih pada beliau, beliau akan menjawab dengan bait-bait Alfiyah.

Di samping membahas dan mengulas gramatika bahasa Arab, bait-bait yang berada dalam Alfiyah memang acapkali diterjemahkan sebagai dalil atau syair cinta, seperti yang terdapat di dalam bab Isim Isyarah: Bidza limufrodin mudzakkarin asyir # bidzi wadzihti ta alal untsa’ tasir (Satu orang laki-laki boleh menikahi satu, dua, tiga, atau empat perempuan). Dan masih banyak lagi bait-bait yang lain.

Karena banyaknya simpatisme dari para ulama, banyak dari mereka yang mensyararahi nadhom Alfiyah ini, di antaranya Syarah Ibnu ‘Aqi karya Baha’uddin Abdullah bin Aqil (769 M), Awdhah Al-Masalik ila Alfiyah Ibn Maalik karya Jamaluddin bin Hisyam (761 M) yang lebih dikenal Ibnu Hisyam, dan masih banyak lagi kitab syarah lainnya.

Jumlah bait yang ada dalam Alfiyah adalah seribu bait. Nama, Alfiyah digunakan sebagai istilah untuk kitab yang berisi seribu bait itu. Alfiyah sendiri adalah nama lain dari kitab aslinya, yang berjudul Al-Khulashoh, bermakna ringkasan, karena memang Alfiyah adalah ringkasan dari kitab Kaafiya, yang berjumlah 2256 bait, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Malik dalam bait: Ahsho minal Kaafiya Al-Kholasho (Aku meringkas kitab kholasoh ini dari kitab Kafiyaa).

Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah kepada kita semua untuk mengamalkan isi dari kitab Alfiyah. Amin.

Catatan:
[1] Sebutan untuk diri sendiri; butuh terhadap rahmat Allah Swt.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan