Kita hidup di zaman ketika nasib individu bisa berubah karena satu klik. Jalan hidup warganet bisa berbalik arah gara-gara satu unggahan. Bahkan satu rekomendasi dari mesin pencari bisa mengubah peruntungan seseorang.
Dunia hari ini digerakkan oleh algoritma—sebuah sistem cerdas yang mengatur apa yang kita lihat, dengar, dan yakini. Tapi di balik kecanggihannya, algoritma bukanlah makhluk gaib; ia hanyalah pantulan dari kebiasaan manusia. Apa yang kita sukai, itulah yang terus disuapi oleh mesin. Dan di sinilah tantangan terbesar bagi santri zaman now: berani menentukan algoritmanya sendiri.

Selama ini santri dikenal rendah hati, tapi kadang terlalu rendah hingga suaranya tenggelam. Di tengah dunia yang berlomba jadi viral, santri sering memilih diam karena takut disebut riya’ atau merasa tidak layak tampil.
Padahal, seperti dawuh Gus Baha, “Kalau kamu ahli Fathul Qorib, tulis di depan rumahmu: ‘Ahli Fathul Qorib.’ Kalau ahli Mahalli, tulis: ‘Ahli Mahalli.’ Biar orang tahu keilmuanmu.” Itu bukan pamer, tapi ikhtiar agar cahaya ilmu tidak padam di bawah bayang-bayang kebodohan yang berisik di dunia maya.
Santri tidak boleh minder di hadapan zaman. Justru sebaliknya, dunia sedang butuh filter moral yang hanya bisa diberikan oleh mereka yang paham adab.
Di tengah banjir informasi, santri harus menjadi pengendali arus, bukan penumpang arus. Jika algoritma bisa dikendalikan oleh like dan share, maka biarkan jempol santri menulis, mengunggah, dan menyebarkan nilai-nilai yang meneduhkan. Sebab algoritma hanyalah alat—yang baik atau buruknya tergantung siapa yang memprogramnya.
Berdakwah di Dunia Maya
Santri sejati bukan sekadar penghafal teks, tapi pembaca zaman. Jika dulu mereka mengaji di bawah temaram lentera, kini mereka bisa berdakwah di bawah cahaya layar.
Tantangan utama santri masa kini bukan hanya memahami kitab, tapi menerjemahkan hikmahnya ke dalam bahasa zaman. Dunia digital tidak menolak nilai pesantren—ia hanya menunggu santri yang berani menulisnya ulang dengan cara baru: renyah, mudah, benar, dan sesuai dengan etika.
Lihatlah bagaimana Gus Nadirsyah Hosen memanfaatkan media sosial untuk menebar nasihat dengan bahasa anak muda yang santun. Para muhibbin Gus Baha yang mampu menembus algoritma YouTube dengan ilmu yang meneduhkan tanpa sensasi. Itu bukti bahwa algoritma pun bisa bersujud pada kebenaran, jika yang menulisnya adalah orang yang berilmu dan beradab.
Santri perlu menyadari, setiap posting adalah bentuk dakwah. Setiap komentar bisa jadi amal atau dosa. Dunia maya itu seperti pasar bebas di mana semua orang berbicara, tapi hanya suara yang tulus dan jujur yang akan bertahan lama. Jadi tugas santri bukan sebatas membuat konten, tapi membuat makna. Di tengah dunia yang haus validasi, penting bagi santri untuk menulis dengan niat memberi nilai.
Menjadi santri zaman ini berarti berani berdiri di dua dunia: dunia maya dan nyata. Keduanya harus seimbang. Di jagat maya santri membawa etika digital. Di alam nyata, santri menyebarluaskan akhlak karimah. Dunia boleh berubah, tapi ruh kesantrian tak boleh luntur. Karena tugas santri bukan hanya mengikut perkembangan zaman, tapi berusaha agar zaman tidak kehilangan arah.
Membangun Arus Kebaikan
Dalam logika algoritma, siapa yang paling aktif, dialah yang menentukan arah. Maka santri tak boleh lagi hanya menjadi penonton. Sudah saatnya menciptakan arus-arus kebaikan yang menggiring masyarakat pada nilai luhur: kejujuran, empati, kerukunan, dan kebersamaan. Santri tidak cukup hanya menjaga tradisi, tapi idealnya mampu juga menjadi pionir inovasi. Menulis buku, membuat film, mengajar lewat podcast, bahkan membangun start-up—semuanya bisa menjadi bentuk pengabdian baru.
Santri bukan anti-modernitas. Justru, mereka adalah pengawal agar modernitas tetap beradab. Gus Dur, KH Ma’ruf Amin, KH Nasaruddin Umar, Gus Baha, atau Gus Nadir menunjukkan bahwa ilmu pesantren tidak berhenti di serambi musala. Ia bisa menjadi kebijakan publik, gagasan kemanusiaan, bahkan inspirasi pengembangan ilmu pengetahuan. Pesantren adalah ruang lahirnya pemimpin-pemimpin yang berpikir jernih dan berhati bersih.
Algoritma yang baik dibangun oleh orang baik. Jika dunia digital penuh ujaran kebencian, hoaks, dan caci maki, itu karena ruangnya terlalu lama dibiarkan kosong oleh mereka yang berilmu. Maka santri harus mengisi kekosongan itu—bukan dengan amarah, tapi dengan karya. Bukan dengan celaan, tapi dengan teladan. Karena semakin banyak konten baik yang hadir, semakin cerdas pula mesin akan bekerja menebarkan kebaikan.
Hari Santri kali ini seharusnya bukan sekadar nostalgia tentang perjuangan masa lalu, tapi deklarasi masa depan: bahwa santri siap jadi pemain utama di era algoritma. Tidak cukup hanya hafal Taqrib, Alfiyah, Alquran, dan Hadis, tapi juga paham coding, data literacy, manajemen informasi, dan ilmu-ilmu kekinian lainnya. Santri bisa menjadi akademisi, pejabat, penulis, influencer, teknokrat, bahkan teknolog—asal ruhnya tetap sama: menjaga adab dalam setiap profesi.
Pada akhirnya, algoritma hanyalah rumus. Ia akan mengikuti pola pikir manusia. Jika santri mengisinya dengan ilmu dan akhlak, maka dunia digital pun akan menjadi pesantren besar yang menebar cahaya. Jadi, jangan takut pada algoritma—taklukkan ia dengan kejujuran, kendalikan ia dengan adab. Karena zaman boleh berubah, tapi satu prinsip tetap abadi: ilmu tanpa adab adalah kebutaan, dan adab tanpa ilmu adalah kerapuhan.