Dalam beberapa momen saya menyaksikan, dengan mata sendiri, dari mana amplop-amplop kiai itu datang dan ke mana mereka pergi. Ceritanya akan saya awali dari masa yang paling dekat, terus mundur ke masa paling jauh, untuk melihat apakah tradisi itu telah berubah atau tak.
Pada Juli 2025, saat berada di sekitaran Tebuireng, Jombang, saya mengobrol dengan sastrawan Binhad Nurrohmat. Ia sudah cukup lama menjadi bagian dari keluarga ndalem salah satu pesantren besar di Jombang, Jawa Timur.

Salah satu obrolan yang ia ceritakan, adalah betapa sosok kiai atau keluarga ndalem masih menjadi “jujukan” masyarakat: anak sakit, datang ke kiai; anak harus bayar sekolah, datang ke kiai; keluarga kena musibah, datang ke kiai; beras habis, datang ke kiai. Intinya, segala masalah, solusinya datang ke kiai.
“Jadi, kalau saya di rumah, mau tidak mau ya harus ada,” ujar Binhad sembari tertawa.
**
Cerita itu akan tetap saya tempatkan hanya sebagai cerita, bukan sesuatu yang nyata, sampai pada akhir Agustus 2025, ketika saya sowan ke ndalem Gus Riza, sesepuh Pesantren Tebuireng, untuk pamitan.
Pagi itu saya duduk sendirian di beranda ndalem, menunggu Gus Riza. Saat itulah muncul seorang perempuan berdaster, bertamu. Usianya antara 50-60 tahun. Tapi ia tak mau ikut duduk. Ia hanya berdiri, sembari mengajak ngobrol ini-itu.
“Oh, Gus, maaf, ini…,” sapa perempuan itu ketika Gus Riza akhirnya muncul dari balik pintu. Gus Riza hanya tersenyum, kemudian masuk ke ndalem lagi. Perempuan itu masih berdiri terpaku di posisinya. Tak lama kemudian, Gus Riza muncul lagi, dan buru-buru mengulurkan tangannya kepada perempuan itu.
Meskipun pura-pura tak tahu, saya harus meliriknya: ada bundelan uang yang berpindah tangan. Dan perempuan itu pun berlalu. Inilah, mungkin, bagian dari apa yang diceritakan oleh Binhad sebulan sebelumnya itu.
***
Sekitar tahun 2023, beberapa kali saya sowan ke ndalem KH Said Aqil Siradj, yang ketika itu sudah tidak menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Jika berada di ndalem, kediaman Kiai Said tak pernah sepi dari tamu.
Suatu malam, saya ikut meriung dengan belasan tamu di teras ndalem Kiai Said. Mungkin karena kebiasaan saat masih menjadi wartawan, mata saya tak pernah mau diam. Selalu mengikuti tiap detail peristiwa.
Saya melihat, ada tamu dari Cibaduyut, Bandung, yang datang membawakan oleh-oleh sepatu buat Kiai Said. Saya melihat, wajah Kiai Said bungah ketika mencobanya. Ada tamu dari mana lagi, entah nama kotanya saya lupa, mengundang Kiai Said untuk hadir dalam sebuah acara.
Tamu lain lagi sekadar ngobrol ini-itu, lalu ikut mendengarkan obrolan lain lagi, dan ketika salaman berpamitan, menyelipkan amplop ke tangan Kiai Said. Tanpa melihat isinya, Kiai Said menyurukkan amplop itu di bawah taplak. Menjelang tengah malam, beberapa tamu yang datang dari Lampung berpamitan, sambil membisikkan sesuatu yang sulit didengar.
Tanpa melihat apa yang diambil, tangan Kiai Said meraih amplop dari bawah telapak, lalu menyerahkannya kepada tamu dari Lampung itu. Amplop itu tak sempat bermalam di ndalem Kiai Said. Bahkan belum sempat diintip isinya. Amplop itu datang dari seorang tamu, lalu berpindah ke tangan tamu lain.
**
Pada tahun 1980-an saya pernah tinggal di salah satu pondok pesantren di Jember, Jawa Timur. Kiai saya selalu berjubah putih, dengan dua kantung saku besar di sisi kanan dan kiri. Ketika banyak tamu, dua kantung itu penuh sesak. Apalagi isinya kalau bukan amplop atau uang dari apa yang secara guyonan sering disebut sebagai “salam tempel”.
Digunakan untuk apa sih uangnya yang, menurut saya ketika itu, sebegitu banyak? Karena ketika itu rumah kiai tak berubah atau bertambah. Mobilnya tetap satu, Toyota tua yang sering mogok.
Tapi setahu saya, makin hari jumlah bangunan pesantren makin banyak, fasilitas makin lengkap. Tiap malam Jumat, ratusan jemaah manaqib, usai zikir, diberi makan tanpa kecuali. Belum lagi jika tiba malam Jumat Legi, jumlah jemaah manaqibnya bisa mencapai ribuan. Dan semuanya disuguhi makan, tanpa kecuali.
Lama kemudian saya baru sadar, semua itu rupanya dibiayai dari apa yang sering disebut “salam tempel” itu. Uang-uang itu terus berpindah dari tamu ke tamu.
**
Pada masa kanak-kanak sampai menjelang remaja, saya masih tinggal di kampung halaman, ujung paling timur dari Pulau Jawa. Di desa saya ada seorang kiai dengan panggilan Mbah Mangil. Banyak orang menyebutnya sebagai wali jadzab.
Meskipun punya pesantren, Mbah Mangil malah tak pernah ngurusi ngaji para santri. Ada guru atau santri senior untuk tugas itu. Sehari-hari Mbah Mangil malah cuma keluyuran dengan berjalan kaki. Hanya bersarung dan berkaus oblong. Sesekali berpeci, kadang hitam kadang putih.
Salah satu kebiasaan Mbah Mangil ketika keluyuran adalah mencegat seseorang, lalu orang itu dimintai uang atau disuruh membelikan ini-itu. Tapi uang-uang itu tak pernah lama di tangan Mbah Mangil. Kadang diberikan kepada siapa saja yang kebetulan berpapasan dengannya. Kadang diberikan kepada orang yang sengaja didatanginya. Orang yang disuruh membelikan ini-itu seringkali juga langsung diminta mengantarkan barangnya kepada orang lain, entah barang itu dibutuhkan atau tidak.
Yang menarik, orang-orang di desa saya justru banyak yang menunggu momen itu: kapan saya dimintai uang oleh Mbah Mangil? Kapan saya disuruh-suruh oleh Mbah Mangil? Sebab, momen seperti itu bagi mereka adalah berkat.
**
Trayektori amplop kiai dari masa ke masa itu ternyata tak berubah. Ia telah menjadi tradisi, telah membudaya, dalam masyarakat kita. Dan kiai, dalam hal ini, sebagai brokernya. (Dengan catatan: amplop-amplop itu datang dari masyarakat, bukan fee proyek.)
Dalam studi ilmu-ilmu sosial, Clifford Geertz dan Hiroko Horikoshi menyebutnya sebagai cultural broker. Kiai dalam lanskap masyarakat Nusantara dipotret sebagai perantara budaya.
Sebagai cultural broker, kiai akan berperan menjadi penyaring masuknya budaya luar, lalu memilih untuk disesuaikan dengan tradisi lokal. Karena itu, sekaligus ia sebagai pengemban dan pengembang tradisi dalam masyarakatnya. Di situ, posisi kiai tetap menjadi penyeimbang antara modernitas dan tradisiolitas. Malah, bisa jadi mungkin bukan cuma sebagai cultural broker, sekaligus kiai juga menjadi economical broker. Problem-problem ekonomi masyarakat bisa diperantarai melalui peran seorang kiai.
Amplop kiai, yang muncul dari “salam tempel” dan terus berpindah tangan itu, juga harus dibaca dan dimaknai dalam kerangka itu. Bukan “si miskin memberi kepada si kaya”. Sebab, uang itu bukan untuknya, bukan untuk kepentingan pribadinya. Mungkin ada satu-dua yang untuk kepentingan pribadi, tapi itu sangat kasuistik sifatnya. Lensa akuntansi tidak bisa memotret fenomena ini.