Di era digital yang semakin mendominasi ruang sosial manusia, muncul sebuah paradoks tragis yang menyasar kalangan yang semestinya menjadi pilar spiritual dan intelektual bangsa: anak-anak kiai. Mereka oleh tradisi diamanatkan untuk menyalurkan dan meneruskan khazanah keilmuan dan spiritual pesantren.
Namun, kini banyak anak kiai kerap terseret dalam pusaran dunia panggung, hiburan, dan keviralan yang menyesatkan. Kondisi ini seyogianya menjadi cermin yang tajam bagi kita semua, terutama jika didekati menggunakan kacamata filsafat.

Filsafat eksistensialisme menempatkan makna diri dan otentisitas sebagai titik pusat pemaknaan hidup. Namun, ironisnya, banyak anak kiai dalam fenomena ini justru kehilagan otentisitas spiritual. Mereka tenggelam dalam “pembingkaian identitas” yang dibentuk oleh sorotan popularitas, daya tarik sosial, dan konsumsi publik yang dangkal. Seakan mereka menjadi “objek” dalam dunia media massa, bukan subjek penyejuk keilmuan yang sejati. Dengan demikian, fungsi pesantren sebagai ruang transformasi spiritual terdegradasi menjadi sekadar platform hiburan dan pencitraan.
Dari sudut pandang hermeneutika, yaitu seni dan teori interpretasi, kebebasan interpretasi teks keagamaan kini tergeser oleh logika keviralan yang bukan sekadar mentransmisikan makna, tapi mencari sensitivitas populer. Artinya, subtansi dan kedalaman ilmu sunyi tergantikan oleh konten yang viral dan sensasional. Bahkan banyak anak kiai yang seharusnya memegang “kunci rahasia” tradisi pesantren, justru kehilangan kapasitas epistemik yang memadai karena terperangkap logika hierarki nilai yang absurd: viralitas di atas hikmah.
Fenomena ini dapat diletakkan dalam kerangka kritik sosial yang radikal seperti yang diajarkan oleh filsafat kritis Frankfurt School (Sekolah Farnkfurt), yang menyoroti peran budaya massa sebagai alat dominasional. Anak-anak kiai yang dihinggapi semangat panggung mencerminkan kultus individualisme dan komersialisme spiritual pesantren. Mereka berubah menjadi agen konsumsi budaya yang membentuk kesadaran palsu, jauh dari proses reflektif mendalam dan kritis yang diharapkan dalam tradisi pesantren.
Secara epistemologis, tragedi spiritual ini juga menunjukkan betapa produksi ilmu dan penghayatan spiritual yang semestinya bersifat dialogis dan mendalam, kini malah menjadi superfisial secara formalistik dan tanpa makna. Anak-anak kiai yang “kososng” ini ibarat sebuah wadah yang hampa, semangat ilmiah dan spiritual ditidurkan oleh hiruk-pikuk dunia eksternal yang artifisial.
