Anak-anak Kiai Hari Ini

Di era digital yang semakin mendominasi ruang sosial manusia, muncul sebuah paradoks tragis yang menyasar kalangan yang semestinya menjadi pilar spiritual dan intelektual bangsa: anak-anak kiai. Mereka oleh tradisi diamanatkan untuk menyalurkan dan meneruskan khazanah keilmuan dan spiritual pesantren.

Namun, kini banyak anak kiai kerap terseret dalam pusaran dunia panggung, hiburan, dan keviralan yang menyesatkan. Kondisi ini seyogianya menjadi cermin yang tajam bagi kita semua, terutama jika didekati menggunakan kacamata filsafat.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Filsafat eksistensialisme menempatkan makna diri dan otentisitas sebagai titik pusat pemaknaan hidup. Namun, ironisnya, banyak anak kiai dalam fenomena ini justru kehilagan otentisitas spiritual. Mereka tenggelam dalam “pembingkaian identitas” yang dibentuk oleh sorotan popularitas, daya tarik sosial, dan konsumsi publik yang dangkal. Seakan mereka menjadi “objek” dalam dunia media massa, bukan subjek penyejuk keilmuan yang sejati. Dengan demikian, fungsi pesantren sebagai ruang transformasi spiritual terdegradasi menjadi sekadar platform hiburan dan pencitraan.

Dari sudut pandang hermeneutika, yaitu seni dan teori interpretasi, kebebasan interpretasi teks keagamaan kini tergeser oleh logika keviralan yang bukan sekadar mentransmisikan makna, tapi mencari sensitivitas populer. Artinya, subtansi dan kedalaman ilmu sunyi tergantikan oleh konten yang viral dan sensasional. Bahkan banyak anak kiai yang seharusnya memegang “kunci rahasia” tradisi pesantren, justru kehilangan kapasitas epistemik yang memadai karena terperangkap logika hierarki nilai yang absurd: viralitas di atas hikmah.

Fenomena ini dapat diletakkan dalam kerangka kritik sosial yang radikal seperti yang diajarkan oleh filsafat kritis Frankfurt School (Sekolah Farnkfurt), yang menyoroti peran budaya massa sebagai alat dominasional. Anak-anak kiai yang dihinggapi semangat panggung mencerminkan kultus individualisme dan komersialisme spiritual pesantren. Mereka berubah menjadi agen konsumsi budaya yang membentuk kesadaran palsu, jauh dari proses reflektif mendalam dan kritis yang diharapkan dalam tradisi pesantren.

Secara epistemologis, tragedi spiritual ini juga menunjukkan betapa produksi ilmu dan penghayatan spiritual yang semestinya bersifat dialogis dan mendalam, kini malah menjadi superfisial secara formalistik dan tanpa makna. Anak-anak kiai yang “kososng” ini ibarat sebuah wadah yang hampa, semangat ilmiah dan spiritual ditidurkan oleh hiruk-pikuk dunia eksternal yang artifisial.

Krisis spiritual yang dihadapi oleh banyak anak kiai ini bukan hanya persoalan individual, melainkan simtom dari perubahan sosial yang lebih luas, yakni arah budaya keviralan yang mengikis esensi keilmuan dan makna spiritual tradisional. Jika tidak ada langkah korektif melalui revitalisasi pendidikan pesantren yang menekankan disiplin ilmu, intensitas pengalaman spiritual, dan resistensi terhadap budaya konsumsi dangkal, maka tragedi ini akan terus berlanjut dan menggerus akar keilmuan pesantren yang telah mengakar berabad-abad.

Dalam konteks sosial yang lebih luas, fenomena ini menyingkap pergeseran struktur makna dalam tubuh pesantren itu sendiri. Dulu, pesantren adalah ruang asketis, tempat di mana santri belajar menundukkan ego dan menata batin melalui laku ilmu dan ibadah. Kini, sebagian anak kiai menjadikan status keturunan itu sebagai “modal simbolik” untuk mendapatkan panggung sosial. Dari sinilah muncul paradoks tragis: spiritualitas diwarisi secara biologis, tetapi kehilangan legitimasi epistemoligisnya. Ilmu tak lagi lahir dari perjalanan ruhani, melainkan dari performa citra dan gaya berbicara di depan kamera.

Tradisi pesantren yang menekankan ta’dib—pembentukan adab sebelum ilmu— perlahan terkikis oleh budaya performatif, di mana ukuran kemuliaan bergeser dari kedalaman makrifat menjadi jumlah penonton, follower, dan donasi digital. Anak kiai yang seharusnya menjadi penjaga sanad spiritual justru menjadi selebritas agama dadakan, mengutip fragmen kitab kuning untuk kepentingan algoritma. Apa yang dulu disebut ‘ilm laduni—ilmu yang lahir dari kejernihan hati—kini ditenggelamkan oleh konten laduni, yakni ilmu yang dikenas demi kepuasan pasar maya.

Lebih jauh, tragedi ini tidak hanya mengancam pesantren, tapi juga merusak tatanan epistemologi keislamam yang telah lama dibangun di atas dialektika relasional guru dan murid, antara riyayah (pengasuhan) dan riyadlah (latihan spiritual). Relasi keilmuan yang dahulu sakral kini berubah menjadi relasi transaksional antara “penceramah” dan “penonton”. Dalam dunia yang serba cepat dan dangkal ini, ilmu kehilangan kedalaman karena tidak lagi dijalani sebagai laku hidup, melainkan dijual sebagai produk spiritual yag menghibur.

Di titik inilah kita menyaksikan tragedi spiritual yang sebenarnya: ketika anak-anak kiai gagal mengenali dirinya sebagai penerus mata rantai keilmuan. Mereka menjadi simbol dari kebisingan modernitas, di mana warisan rohani yang luhur kehilangan daya hidupnya di tangan generasi yang lebih sibuk memoles citra ketimbang menata batin. Dalam kaca mata Heideggerian, mereka telah terjerumus dalam kejatuhan eksistensial (fallennes), yakni keadaan di mana manusia larut dalam hiruk-pikuk dunia dan kehilangan keterarahan pada “ada” yang sejati.

Untuk itu, revitalisasi pesantren bukan sekedar kurikulum atau manajemen pendidikan, tetapi tentang rekonstruksi kesadaran spiritual. Pesantren harus kembali menjadi ruang sunyi yang melahirkan pemikir-pemikir kontemplatif, bukan pabrik konten religi yang menghibur. Anak kiai harus diajak kembali menempuh jalan keheningan—menyepi, menafsir, dan menyelami hakikat diri—agar bisa menemukan kembali makna keberadaannya di tengah dunia yang bising ini.

Sebab, di ujung segala hiruk-pikuk keviralan, yang tersisa hanyalah kesunyian batin. Dan dalam kesunyian itulah sesungguhnya pesantren menemukan rohnya: menuntun manusia untuk menjadi makhluk yang sadar akan dirinya, bukan makhluk yang sibuk mempertontonkan dirinya.

Referensi:

Abdalla, Ulil Abshar. Membongkar Islam Radikal. Jakarta: Paramadina, 2009.

Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Indonesia: Jejak Langkah dan Pemikiran. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004.

Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1993.

Muhtadi, Burhanuddin. Golongan Intelektual dan Dinamika Politik Islam Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2021.

Saifuddin, Achmad Fedyani. Filsafat Islam: Sejarah, Pemikiran, dan Aplikasinya. Bandung: Mizan, 2020.

Wahid, Abdul. Menggugat Tradisi: Dinamika Pesantren di Tengah Modernisasi. Jakarta: Prenadamedia Group, 2019.

Zuhri, Syaifuddin. Pesantren dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: LKiS, 2015.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan