Di zaman yang serba digital ini, anak-anak, yang seharusnya masih bergelut dengan buku gambar, berlari di halaman, atau menatap langit memikirkan warna pelangi, justru sudah diperkenalkan pada layar-layar elektronik.
Begitu saja, tanpa bekal yang cukup, anak-anak kini sudah mulai mengenal dunia yang luasnya tiada berbatas. Dalam konteks agama, ini adalah tantangan sekaligus peluang besar untuk menjaga mereka.
Maka di sinilah penting bagi kita mengangkat satu dimensi: fikih perlindungan anak di dunia digital.
Apa Itu Fiqih Perlindungan Anak?
Secara umum, fikih berkaitan dengan pemahaman mendalam tentang hukum-hukum yang berlaku dalam Islam, baik yang bersifat ibadah maupun muamalah. Jika kita bicara tentang perlindungan anak, maka fikih perlindungan anak ini bukan sekadar serangkaian hukum dan aturan yang kaku.
Lebih dari itu, fikih perlindungan anak adalah etika moral yang seharusnya kita junjung dalam mendidik dan membimbing anak-anak. Di dalam Al-Qur’an, jelas kita diajarkan untuk menjaga anak-anak dari berbagai macam keburukan dunia.
Allah berfirman, “Ya ayyuhalladzina amanu, quu anfusakum wa ahliikum naraa” – wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. Jadi, jika ayat ini kita maknai dalam konteks dunia digital, ada tanggung jawab besar di tangan para orang tua dan pendidik.
Tanggung jawab itu adalah memastikan bahwa anak-anak ini tidak terjerumus pada konten yang bisa “membakar” mereka, baik secara akhlak, mental, maupun spiritual.
Tantangan Dunia Digital bagi Anak-anak
Dunia digital, bagaimanapun, adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, ia memberikan akses luar biasa pada ilmu pengetahuan, teknologi, dan hiburan yang bermanfaat.
Di sisi lain, terlalu banyak konten negatif, seperti kekerasan, pornografi, atau bahkan ideologi ekstrem, yang dapat dijangkau hanya dengan satu klik. Bagi anak-anak, yang imajinasi dan rasa ingin tahunya sedang berkembang pesat, keberadaan konten semacam ini bisa membawa bahaya besar.
Lantas, bagaimana posisi kita sebagai orang tua, pendidik, dan masyarakat dalam menghadapi tantangan ini?
Fikih dalam Konteks Digital
Jika kita mengacu pada fikih, seharusnya ada batasan-batasan yang jelas untuk menjaga anak-anak dari pengaruh buruk. Dalam perspektif Islam, hukum tidak terbatas pada ibadah, tetapi juga mencakup aspek pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan terhadap anak-anak.
Rasulullah SAW sendiri telah memberikan banyak contoh bagaimana mendidik anak dengan kasih sayang dan perhatian yang penuh. Maka dari itu, dalam konteks dunia digital, peran kita sebagai orang tua adalah memberikan batasan yang bijaksana.
Kita bisa belajar untuk menetapkan “hijab” digital, misalnya, dengan memberikan aturan tegas kapan dan bagaimana anak-anak boleh menggunakan internet atau gawai. Di sinilah muncul kebutuhan akan pendekatan fikih yang adaptif dan bijaksana.
Menjaga anak-anak bukanlah berarti mengisolasi mereka sepenuhnya dari teknologi, tetapi mengajari mereka cara menggunakan teknologi secara positif. Ini termasuk mengawasi dan memberikan pemahaman yang jelas tentang risiko-risiko yang ada.
Pendidikan Digital Islami
Jika memang kita sepakat untuk menjalankan fiiih perlindungan anak di dunia digital, langkah pertama adalah menciptakan pendidikan digital yang Islami. Edukasi digital tidak sekadar mengenalkan aplikasi atau teknologi, tetapi juga membentuk karakter anak-anak agar kuat menghadapi dampak buruk dunia maya
Salah satu contohnya adalah melalui kurikulum yang mengajarkan anak tentang etika berinternet, adab dalam media sosial, dan tentunya, kesadaran akan pentingnya akhlak.
Selain itu, orang tua perlu menjadi teladan dalam menggunakan teknologi. Anak-anak, bagaimanapun, belajar lebih banyak dari contoh daripada kata-kata. Jika orang tua bisa menunjukkan bahwa dunia digital bisa dipakai untuk hal-hal positif, seperti membaca Al-Qur’an, belajar ilmu agama, atau mengakses informasi yang bermanfaat, maka anak-anak akan meniru hal yang sama.
Harapan di Tengah Tantangan
Dalam membicarakan fikih perlindungan anak di dunia digital, kita sadar bahwa tanggung jawab ini tidak ringan. Akan tetapi, dengan kolaborasi antara orang tua, masyarakat, dan pemerintah, ada harapan untuk mewujudkan dunia digital yang lebih aman bagi anak-anak.
Dalam pandangan saya, perlu ada peran bersama antara orang tua, ulama, dan pemerintah untuk menyusun panduan dan peraturan yang bisa diandalkan. Mari kita hadirkan teknologi yang beradab, bukan yang membawa kerusakan.
Sebab anak-anak ini adalah amanah, dan suatu hari nanti, akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya. Fikih perlindungan anak adalah kewajiban kita bersama; bukan hanya demi keselamatan di dunia, tetapi juga demi keselamatan akhirat.
Cabeyan, 2024.