Salah satu ulama besar Indonesia, KH Ali Yafie telah berpulang pada Sabtu (25/2/2023) pukul 22.13 WIB. Dengan kepergiannya, Indonesia kehilangan salah satu ulama terbaik yang memiliki kontribusi besar terhadap bangsa ini.
Kontribusi dan pemikiran KH Ali Yafie yang paling berpengaruh bagi kelangsungan tatanan ibu pertiwi adalah gagasan konstruktif mengenai fikih/ hukum Islam. Hal ini semakin terlihat ketika pemerintah menganugerahi kepada beliau gelar profesor dengan konsentrasi ilmu fikih. Tahun 1991, KH Ali Yafie kemudian dikukuhkan secara resmi sebagai guru besar bidang fikih di Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta.
KH Ali Yafie menyadari, pemberian jabatan tertinggi di dunia akademik tersebut bukanlah ajang seremonial belaka. Di dalamnya terkandung tanggung jawab begitu agung untuk selalu komitmen mendarmabakti dan mengembangkan keilmuan yang dimiliki. Tepat 1994, progres keilmuannya kemudian menemukan momentumnya. KH Ali Yafie menyumbangkan gagasan diskursus keilmuan baru bertajuk “fikih sosial”.
Musafir Pencari Ilmu
Sebelum membahas lebih jauh ihwal fikih sosial, penting kiranya dicermati bahwa, merumuskan suatu wacana (teori) keilmuan baru bukan perkara mudah. Kualifikasinya harus orang yang menguasai dan mendalami pelbagai disiplin ilmu. Kemudian ia melakukan kajian riset akademik, membaca, mengkomparasi, menganalisis pelbagai teori yang sudah ada. Jika hal tersebut terlaksana secara intensif dan mendalam, sangat besar kemungkinan bakal menemukan teori baru.
Dalam konteks ini, keberhasilan memformula “fikih sosial” KH Ali Yafie berangkat dari tradisi keilmuan yang telah mengakar kuat. Sejak kecil, aktivitas menulis sudah lazim dikerjakan. KH Ali Yafie dilahirkan dari keluarga yang terpandang, turunan ulama, taat beragama dan terdidik. Kakeknya bernama Syekh Abdul Hafidz Bugis, salah satu ulama Indonesia yang menjadi guru besar di Masjidil Haram. Ayahnya juga seorang ulama, Syekh Muhammad Al-Yafie.
Sosok KH Ali Yafie dilahirkan pada tanggal 1 September 1926 oleh ibunya, Maccaya, di desa Wani-Donggala, Sulawesi Tengah. Sejak usia lima tahun, ia telah dilatih untuk membiasakan diri mengenal kitab kuning. Itu terjadi karena anjuran sang kakek dan ayahnya. Ketika usianya genap tujuh tahun, KH Ali Yafie kecil mulai meniti pendidikan pesantren. Di sana ia terbilang cerdas, sebab meski usia masih sangat muda, 12 tahun tapi sudah lancar membaca kitab kuning.