Setiap kali tanggal dua puluh dua Oktober tiba, bangsa ini seakan diajak menengok kembali halaman sejarah yang ditulis dengan tinta darah dan doa. Di balik hiruk pikuk Surabaya tahun 1945, ada kobaran api semangat yang lahir dari pesantren, dari tempat yang selama ini lebih dikenal dengan suara ngaji, sorogan kitab, dan lantunan wirid. Tapi pada hari itu, suara dari pesantren berubah menjadi teriakan jihad, menggema di seluruh penjuru negeri, membakar semangat rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diikrarkan.
Resolusi Jihad bukan sekadar fatwa perang. Ia adalah tanda bahwa pesantren bukan menara gading yang terasing dari realitas bangsa. Para kiai waktu itu, dengan segala kesederhanaannya, melihat bahwa mempertahankan tanah air adalah bagian dari menjaga amanah Tuhan.

Dalam pandangan mereka, mencintai negeri bukan urusan politik belaka, melainkan bagian dari ibadah. Ketika penjajah datang kembali dengan bendera lain, mereka tahu bahwa diam berarti menyerah, dan menyerah berarti mengkhianati karunia kemerdekaan. Maka, dari pesantren ke masjid, dari langgar ke surau, semangat jihad pun menyala, menembus batas darah dan usia.
Namun, api itu tidak padam meski waktu berganti. Semangat Resolusi Jihad kini bukan lagi tentang mengangkat bambu runcing, melainkan menggoreskan pena, ilmu, dan kesadaran. Santri masa kini berhadapan dengan penjajahan bentuk baru, yaitu kebodohan, kemiskinan, disinformasi, dan ketimpangan sosial. Medan perang mereka bukan di Surabaya, tetapi di dunia maya, di ruang diskusi, di kelas-kelas pendidikan, dan di hati masyarakat yang mulai kehilangan arah nilai. Di sanalah santri modern meneruskan jihadnya dengan mengajarkan kebenaran, menegakkan keadilan, dan menjaga akal sehat publik.